Pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Rabu (29/10), indeks harga saham gabungan memang akhirnya menguat, tetapi hanya 2,23 poin atau 0,2 persen menjadi 1.113,62.
Penguatan IHSG itu sangat tipis dan tidak sebanding dengan penguatan bursa global selama dua hari terakhir, apalagi dalam lima hari perdagangan sebelumnya IHSG selalu anjlok.
Indeks Nikkei 225 di Jepang, misalnya, kemarin, menguat 7,74 persen. Selama dua hari terakhir, Nikkei telah membaik 14,15 persen karena pada perdagangan saham Selasa lalu, indeks tersebut menguat 6,41 persen.
Contoh lainnya, Indeks Hang Seng di Hongkong. Walaupun kemarin hanya menguat 0,84 persen, pada perdagangan sehari sebelumnya, indeks tersebut telah naik tajam 14,35 persen. Adapun IHSG pada perdagangan saham Selasa lalu anjlok 4,72 persen.
Penguatan yang cukup tajam juga dialami Indeks Dow Jones Industrial Average pada perdagangan saham di New York Stock Exchange, Selasa waktu setempat, yaitu sebesar 10,88 persen. Sampai pukul 23.40 WIB semalam, perdagangan saham di NYSE masih menguat sebesar 1,27 persen.
Pasar saham global mulai bereaksi positif setelah beredar kabar bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan kembali memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 1 persen.
Kondisi Indonesia terbalik
Menurut Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman, kondisi pasar di Indonesia menjadi terbalik karena di tengah ketatnya likuiditas saat ini, Bank Indonesia justru menetapkan kebijakan suku bunga tinggi.
Di mata pelaku pasar modal, kebijakan suku bunga tinggi itu dilihat sebagai ancaman terhadap pertumbuhan sektor riil, khususnya perusahaan-perusahaan terbuka. Selain itu, suku bunga yang tinggi juga akan mengurangi minat investor menginvestasikan dananya di pasar saham.
Kebijakan suku bunga tinggi yang diterapkan BI, papar Norico, memang bisa dimaklumi untuk menekan tingkat inflasi dan menahan keluarnya dana investor asing dari Indonesia.