Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Joko Sriyanto, Kuli Bangunan Jadi Juragan Batako (3)

Kompas.com - 27/02/2009, 09:22 WIB

Dalam perjalanan membangun usahanya hingga sukses seperti sekarang, Joko mengalami jatuh bangun. la pernah rugi gara-gara ada pelanggan yang mangkir membayar utang Rp 240 juta. Usahanya pun sempat hancur akibat gempa bumi tiga tahun silam. Tapi, ia bisa bangkit karena menerapkan prinsip menabung dan hidup sederhana.

Sukses Joko bukannya tanpa kendala. Setelah usaha bis beton berkembang, ia juga menggarap tegel. Tapi, belakangan, permintaan tegel atau ubin terus menurun. "Waktu itu orang lebih memilih memakal keramik ketimbang ubin buat membangun rumah," tutur lelaki kelahiran Klaten ini.

Otak Joko berputar cepat mencari ide lain. Ia lantas mengutak-atik lima mesin pembuat tegelnya. Ia berusaha mengubah spesifikasi dan fungsi alat itu menjadi mesin pembuat batako. Alhasil, bisnis Joko tertolong oleh produksi batako.

Namun Kemurahan hati Joko memperbolehkan pelanggannya membayar dengan mencicil berbuah pahit. Beberapa pelanggan sempat mangkir membayar utang. Pada tahun 2006, ia menelan kerugian sampai Rp 240 juta gara-gara seorang pelanggannya mangkir. Saat menagih utang, Joko malah mendapat ancaman. "Banyak preman datang ke rumah, Saya jadi takut," kenang getir.

Gempa Yogyakarta tiga tahun silam juga memorakporandakan usaha Joko. "Pas gempa, batako saya hancur dan menimpa mesin," tutur Joko. Kerugiannya mencapai Rp 100 juta.

Meski begitu, Joko tidak menyerah. la terus belajar dari kegagalannya. Selain itu, Joko bisa bertahan berkat kebiasaannya menabung. Pada 1995, Joko membeli motor dengan angsuran Rp 250.000 per bulan. Dua tahun kemudian, saat kreditnya lunas, ia menjual kembali motornya. "Saya butuh duit buat membayar uang muka mesin genteng," ungkap Joko.

Meski kondisi ekonomi sudah berkembang, Joko tak lantas berubah. la tetap memakai celana pendek dan kaos saat menjalankan usaha. Gara-gara cara berpakaian yang sederhana itu, ia pernah dipandang sebelah mata oleh bank. Sebab, wajah dan cara berpakaiannya tak mencerminkan tanda kemakmuran.

Cara hidup sederhana Joko itu tak lepas dari cita-citanya semasa kecil. Waktu itu ia ingin menjadi guru yang hidup sederhana. Tapi, selulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), lamarannya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Solo ditolak. "Tinggi badan saya tak cukup," katanya.

Meski sukses seperti sekarang, Joko mengaku tak langsung jumawa. la tetap menghargai orang lain. "Saya banyak mengambil pekerja lulusan SD," kata bapak tiga anak dari satu istri ini. (Dessy Rosalina/Kontan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com