Tidak ada satu negara pun yang terbebas dari dampak resesi ekonomi dunia dan pengetatan kredit di pasar global. Setiap negara kini hanya berupaya menahan pelambatan yang lebih dalam. Bagaimana dengan perekonomian Indonesia?
Tiap-tiap negara mencoba menahan pelambatan sekaligus mempercepat pemulihan dengan berlomba-lomba mengucurkan stimulus fiskal dan moneter berupa penurunan suku bunga acuan sejak krisis ekonomi mulai tercium.
Negara dengan perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat (AS) misalnya, telah mengumumkan paket stimulus fiskal sebesar 819 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9.000 triliun. Jerman akan mengucurkan sekitar Rp 50 miliar euro atau sekitar Rp 750 triliun.
Dari sisi moneter, bank-bank sentral secara agresif terus memangkas suku bunganya. Bank Sentral AS, Federal Reserve, hanya menyisakan besaran 0,25 persen untuk suku bunga acuannya. Ini artinya, hampir tidak ada ruang lagi untuk stimulus moneter. Jepang bahkan memangkas suku bunga acuannya hingga nol persen. Akibat pemangkasan yang agresif, suku bunga acuan di negara-negara maju kini telah di bawah 1,5 persen.
Namun sayangnya, stimulus fiskal dan moneter yang bertubi-tubi itu sepertinya tak mampu menahan pelambatan, yang kenyataannya makin dalam saja.
Prediksi pertumbuhan ekonomi 2009 pun terus direvisi. Pada Oktober 2008, pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 masih diprediksi mencapai 3 persen. Seiring waktu, perkiraan angka pertumbuhan terus
Situasi yang nyaris mirip juga dialami perekonomian Indonesia. Pengumuman stimulus fiskal sebesar Rp 73,3 triliun dan pemangkasan BI Rate paling dramatis sepanjang sejarah belum juga bisa menahan pelambatan ekonomi yang lebih dalam.
Melihat data perekonomian terkini yang terus memburuk, BI pun merevisi prediksi pertumbuhan 2009 dari 4,5 persen menjadi 4 persen, dengan kemungkinan turun yang besar.
Stimulus fiskal dan moneter memang membutuhkan waktu (