Oleh Antony Lee
KOMPAS.com - Di balik kecelakaan kereta api di Indonesia belakangan ini, masinis kerap dipersalahkan. Padahal, di tengah pengabdiannya, jauh dari kehangatan keluarga, mereka kerap menjadi korban tangan iseng yang membahayakan nyawa. Dipo kereta api Jatinegara, Jakarta, Senin (14/9) pukul 03.30. Deru mesin diesel lokomotif CC seri 20162 terdengar kencang dari halaman yang masih berselimut gelap. Hoedy berjalan ke arah lokomotif buatan General Electric Amerika Serikat itu dan naik menuju kabin masinis. Ruang kecil berukuran 2,5 meter x 2 meter dengan sejumlah panel kendali. ”Sudah sahur belum, Di? Aku malah belum sempat mandi, Keduanya harus mengantarkan ratusan pemudik menggunakan kereta api tambahan Mantap Lebaran ke arah Madiun, Jawa Timur. Sukamdi hanya tertawa mendengar pertanyaan rekannya. Sejam sebelum waktu pemberangkatan KA pukul 04.50, lokomotif harus siap di Stasiun Tanah Abang. Setelah penumpang naik dari stasiun itu, ia lalu memacu rangkaian KA tersebut ke arah Cirebon, Jawa Barat. Sekitar pukul 06.00, KA Mantap Lebaran sedang melintasi Stasiun Rawa Bebek, Bekasi, saat beberapa anak kecil melemparkan petasan ke loko. Petasan itu meledak dekat sekali dari posisi duduk Hoedy. Kaca loko itu kebetulan sedang dibuka lebar agar kabin tidak pengap. ”Ini masih biasa. Kadang batu yang melayang. Kalau musim liburan sekolah suka seperti ini,” katanya sambil melapor ke kantor operasi melalui kontak radio yang ada di mesin kendali. Sebagai orang yang berada di lokomotif, mereka rentan bahaya, termasuk bila terjadi kecelakaan. Padahal, kecelakaan kereta di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan, hingga Desember 2008 ada tiga tabrakan kereta api dengan kereta api. Sementara tabrakan KA dengan kendaraan bermotor 19 kasus dan KA anjlok 95 kejadian. Sebagian masinis turut menjadi korban dalam kecelakaan ini. Rekannya, Yayat Sutarya (32), asisten masinis, pernah mengalami kecelakaan lebih parah. Saat melintasi stasiun yang sama, sepekan sebelum Lebaran 2008, dengan KA Bengawan rute Solo-Jakarta, batu sekepalan tangan menghantam mata kanannya. Bola mata Yayat rusak. ”Ada anak-anak kecil di samping rel. Sepertinya mereka yang melempar. Saya sedih sekali, sampai dibuat jadi cacat seperti ini,” tutur ayah satu anak itu, Selasa. Selain kehilangan penglihatan, kariernya sebagai masinis pupus. Ia akhirnya menjadi tenaga staf di Dipo Jatinegara. Padahal, bila tak ada halangan, lima bulan berikutnya ia akan diangkat menjadi masinis.