Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rohprihati, Keset "The Power of Kepepet"

Kompas.com - 31/12/2009, 12:58 WIB

Antony Lee

KOMPAS.com - Kegundahan Rohprihati menyaksikan banyak tetangga di desanya terkena pemutusan hubungan kerja massal pada tahun 1998 berujung manis. Ia memotori kerajinan keset dari kain limbah industri garmen yang menyerap korban PHK di sekitar rumahnya. Kini sudah lebih dari 700 orang yang menggeluti usaha keset itu.

Pengaruh krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997 begitu terasa di Desa Wonoyoso, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Banyak perusahaan gulung tikar dan memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Akibatnya, banyak orang yang merupakan tulang punggung keluarga kehilangan mata pencarian.

Para orangtua bingung kehabisan uang untuk membeli makanan, sedangkan anak-anak terpaksa putus sekolah. Efek tak langsung juga mulai dirasakan. Persoalan sosial muncul. Keluarga menjadi tidak harmonis, banyak anak-anak kongko dan minum minuman keras. Meski tak terlalu kentara, terindikasi pula perempuan yang ”dijual” di luar Jawa.

Kondisi lingkungannya yang memprihatinkan itulah yang memancing Rohprihati berbuat sesuatu. Dia mengakui tindakannya bukan didasari keinginan mencari keuntungan. Secara ekonomi ia tak bermasalah karena usaha mebel dan kasur kapuk yang dirintis sejak tahun 1989 masih mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Omzet usaha kasurnya saat itu mencapai Rp 12 juta per pekan.

Ibu dua anak itu kemudian mulai mengajak tetangganya membuat kerajinan. Keset menjadi pilihan karena komoditas itu bisa diserap oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahan baku kain perca limbah industri juga mudah didapat karena di sekitar Pringapus terdapat banyak industri garmen. Usaha ini juga dianggap ramah lingkungan karena memanfaatkan barang-barang yang sesungguhnya sudah dianggap sebagai ”sampah” industri.

”Saat itu, karena belum tahu cara membuat keset, kami membeli di pasar. Kami preteli satu per satu supaya tahu bagaimana cara membuatnya,” ungkap Rohprihati.

Merintis usaha itu ternyata sukar-sukar mudah. Korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari industri garmen bisa cepat menyesuaikan diri, tetapi ada pula ibu-ibu yang masih kewalahan akibat belum terbiasa menjahit secara cepat dan rapi. Awalnya, setiap orang baru bisa memproduksi tiga hingga empat keset per hari. Namun, setelah mahir bisa mencapai 10 hingga 15 keset per hari.

Wilayah pemasaran keset itu sudah menembus Bali, Kalimantan, dan Sumatera. Harga jualnya juga bervariasi, mulai dari Rp 1.500 hingga Rp 35.000 per buah. Harga jual ini tergantung kerapian jahitan ataupun motif dan bentuk keset. Sementara itu, harga bahan baku rata-rata Rp 700 per keset.

Dengan harga jual itu, perajin sudah bisa mendapatkan penghasilan yang tidak terlalu kecil, sekitar Rp 25.000 per hari jika hanya membuat keset tanpa motif rumit. Perajin yang digerakkan Rohprihati diminta terus berinovasi menciptakan bentuk-bentuk keset menarik, misalnya berbentuk ikan, kura-kura, kupu-kupu, ataupun panda.

Berbagai kendala

Rohprihati mengenang masa-masa awal itu. Dia menuturkan, kemampuan tetangganya membuat keset itu sebagai the power of ”kepepet”. Saat sudah tak ada lagi jalan lain yang terpikirkan, mereka akhirnya hanya bisa mengeluarkan seluruh daya kemampuan agar bisa membuat keset.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com