Tidak ada kepanikan, kecuali menarik napas panjang, bahkan dengan sedikit senyuman tertahan. Itulah pengamalan unik di gedung simulasi bencana topan dan gempa di Tokyo, Jepang, November lalu.
Pemerintah Jepang memang menyiapkan gedung simulasi dan latihan menghadapi bencana gempa dan topan, lebih-lebih setelah gempa dahsyat memorakporandakan Kobe tahun 1995.
Jepang memang sangat serius mengantisipasi bencana gempa, topan, dan tsunami, yang bisa datang menerjang tiba-tiba setiap saat. Paling tidak, setahun sekali dilakukan simulasi menghadapi bencana topan, gempa, tsunami, dan banjir.
Tidak mengherankan, setiap hari masyarakat umum, rombongan anak sekolah, dan pegawai perusahaan berbondong-bondong ke gedung simulasi untuk melatih memadamkan api, menyelamatkan diri dari gempa, tsunami, dan banjir.
Kesadaran tentang ”hidup bersama bencana” itu cukup meluas. Setiap warga masyarakat, tanpa terkecuali, tidak hanya diingatkan, tetapi juga dilatih secara rutin bagaimana mengantisipasi dan menghadapi bencana topan, gempa, tsunami, dan banjir.
Setiap orang diasumsikan dapat bertahan sendiri sampai setengah hari setelah bencana datang, sebelum pertolongan dan penyelamatan tiba. Maka setiap rumah tangga di Jepang umumnya menyediakan cadangan air minum untuk tiga hari dan makanan khusus yang memadai.
Tidak ketinggalan senter untuk mengantisipasi kemungkinan listrik padam ketika bencana datang pada malam hari. Juga tidak boleh lupa pula radio, yang dibutuhkan untuk menyimak siaran berita tentang bagaimana menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman.
Ketika gempa dan topan datang, penduduk yang hidup di pesisir diingatkan soal bahaya tsunami, sementara penduduk di lereng gunung diminta waspada terhadap longsor.