Oleh: Fabby Tumiwa *
KOMPAS.com - Dalam suatu forum diskusi dengan wartawan ekonomi dan moneter akhir minggu, Dirut PT PLN Dahlan Iskan melemparkan gagasan ”listrik gratis bagi orang miskin”. Pernyataan serupa disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR.
Listrik gratis untuk orang miskin dapat mengurangi pendapatan PLN Rp 1,5 triliun. Jika kenaikan diberikan pada kelompok pelanggan rumah tangga (RT) lain, pendapatan tambahan minimal Rp 15 triliun. Andai kata perhitungannya tepat, opsi ini lebih menguntungkan PLN dibandingkan dengan opsi kenaikan 10-15 persen, yang memberikan tambahan pendapatan Rp 6 triliun-Rp 7 triliun per tahun.
Ide ini bukan hal baru. Afrika Selatan telah mempraktikkan dengan cukup berhasil hampir 10 tahun. Tahun 2001, Pemerintah Afrika Selatan menetapkan kebijakan pemberian air dan listrik gratis bagi warga miskin. Kebijakan yang disebut ”Free Basic Electricity” tersebut memberikan RT miskin 50 kilowatt-jam tenaga listrik yang berasal dari jaringan listrik (grid) secara gratis setiap bulan.
Pemakaian listrik yang lebih tinggi dari kuota itu dikenai tarif berundak. Kuota 50 kilowatt-jam ditentukan berdasarkan konsumsi rata-rata 54 persen dari 6,4 juta pelanggan RT. Kebijakan listrik gratis hanya berlaku bagi RT yang memenuhi kriteria miskin. Pelanggan yang tidak masuk kategori ini harus membayar tarif non-subsidi sehingga terjadi subsidi silang antar-golongan.
Sejumlah prasyarat
Apakah kebijakan seperti ini bisa diterapkan di Indonesia? Bisa saja, tetapi dengan sejumlah prasyarat, kondisi, dan pertimbangan. Pertama, perlu filosofi dan tujuan kebijakan jelas dan jangka panjang, tidak seumur jagung.
Filosofi yang mendasari Afrika Selatan mengambil kebijakan ini: listrik adalah pelayanan dasar hakiki, kebutuhan dasar warga masyarakat, sehingga akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin harus dijamin. Rendahnya kemampuan ekonomi tak boleh menghalangi masyarakat miskin memperoleh pelayanan listrik yang baik.
Kedua, perlu kejelasan definisi ”miskin”. Penggunaan kata ”miskin” dalam debat kenaikan TDL akhir-akhir ini sesungguhnya bias dan salah kaprah. Baik eksekutif maupun DPR memakai definisi ”miskin” untuk pelanggan listrik 450 VA dan atau 900 VA.
Masyarakat yang telah mendapatkan akses listrik dikategorikan orang miskin, padahal masyarakat miskin sesungguhnya adalah yang berpendapatan sangat rendah dan masih belum terjangkau listrik, bahkan pada praktiknya mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan penerangan dengan kualitas yang sangat buruk. Mereka inilah justru ditinggalkan eksekutif, DPR, dan PLN dalam hiruk-pikuk perdebatan kenaikan TDL.