Terkait interpretasi data, cukup menggelitik membaca tulisan Rieke Diah Pitaloka (RDP) di Kompas (31/7) berjudul ”Impersonalisasi Kaum Papa”. Menurutnya, data kemiskinan BPS menyesatkan. Teknik pengukuran garis kemiskinan dari Susenas telah mereduksi pengertian kemiskinan sebagai degradasi kualitas hidup manusia secara nonkuantitatif dan personal.
Definisi bekerja yang digunakan BPS juga dipandang menyesatkan karena mengabaikan mereka yang berpendapatan rendah dan membutuhkan bantuan. Akibatnya, Jahra, penderita tumor ganas di mata kiri, mengalami kesulitan pengobatan karena namanya tidak tercantum di dalam data penerima Jamkesmas.
Mungkin yang dimaksud oleh penulisnya adalah data mikro jumlah penduduk miskin hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS 2008). Jika demikian, data jenis ini pun tidak seharusnya diterjemahkan sebagai satu-satunya rujukan. Jangankan dalam masa dua tahun, setiap semester data jumlah penduduk miskin akan mengalami perubahan di lapangan. Mereka yang semula dikategorikan sebagai miskin, dalam beberapa bulan dapat berubah menjadi tidak miskin atau sebaliknya.
Data PPLS 2008, yang sudah dua tahun usianya, yang dikumpulkan BPS, akan lebih ideal jika dipandang sebagai panduan awal yang memang diperlukan untuk mengeksekusi program bantuan. Di sisi lain, mereka yang tidak miskin, tetapi tengah mengalami kesulitan seperti penduduk cacat, anak-anak yatim dari keluarga sederhana, penduduk yang tertimpa musibah, atau mereka yang tiba-tiba mengalami kesulitan memang perlu dibantu.
Ini memerlukan semacam kebijakan khusus dari instansi pengelola program atau pemerintah daerah untuk dapat menambah ragam tipologi manusia sasaran dan kemungkinan menambah usulan anggaran. Jumlah populasi penduduk seperti ini idealnya dihitung dengan cara berbeda dari ukuran yang digunakan untuk menentukan kemiskinan.
Kemiskinan memiliki multidimensi dan sulit diukur. Karena kesulitan tersebut, dunia menggunakan ilmu statistik dengan batasan-batasan tertentu, yang umumnya didasarkan pada kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar. BPS menghitung angka kemiskinan, makro dan mikro, atas dasar kebutuhan primer tersebut pada interval waktu tertentu dan tidak menggunakan ukuran di luar standar yang ada, termasuk tidak mengukur mereka yang dalam kategorisasi Amartya Sen sebagai yang tengah dililit kesulitan, apalagi kesulitan sesaat. Poverty tidak sama dengan difficulty atau sudden difficulty.