Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tempurung dari Blitar Tak Lagi Murung

Kompas.com - 23/10/2010, 06:44 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - Siapa tak kenal kerajinan tempurung kelapa. Di sejumlah kota besar dan tempat-tempat wisata, kerajinan tangan ini gampang dijumpai.

Bentuknya macam-macam. Namun hampir semua kerajinan dari bahan limbah ini dibiarkan memiliki warna seperti aslinya. Serba coklat alami. Berkesan eksotik.

Di Jawa Timur, ada ratusan perajin tempurung kelapa. Jumlahnya terus bertambah karena keberadaan limbah buah kelapa juga melimpah.

Laiknya membuat kerajinan, mengolah tempurung kelapa juga butuh keterampilan. Teknologi yang dipakai tak perlu canggih. Sentuhan inovasi membuat kerajinan ini semakin diminati sampai mancanegara.

Dwi Wahyuni, penggemar kerajinan tempurung kelapa, mengaku punya banyak koleksi kerajinan ini. “Dulu saya membeli ketika tugas di Bali. Hasil olahan tempurung kelapa di sana lebih halus dan bentuknya inovatif. Kalau yang saya jumpai di Jatim, kok standar,” aku wanita 42 tahun ini.

Koleksi terbanyak adalah tas dari tempurung kelapa, lainnya aksesori dan peralatan rumah tangga. “Harganya cukup terjangkau, tak sampai Rp 100.000. Kalau kerajinan yang berupa tas masih awet sampai sekarang. Tapi kalau sendok, garpu dan peralatan memasak lainnya kurang awet, mungkin karena sering dipakai,” ujar Dwi.

Demikian halnya aksesori macam ikat pinggang, kalung, serta hiasan interior rumah. “Tempurung kelapa meskipun kelihatannya keras, tapi dalam tempo dua tahunan gampang retak atau pecah. Terutama yang dipecah-pecah menjadi bulatan kecil,” lanjut ibu satu anak ini.

Bagi Hepicsa Setiayuda, perajin tempurung kelapa asal Blitar, ide awal memulai usaha ini dilatarbelakangi limbah tempurung kelapa yang melimpah di kawasan rumahnya.

“Pohon kelapa tumbuh melimpah di Desa Seduri, Kecamatan Wonodadi. Waktu itu yang diolah cuma isi buahnya saja, tempurungnya dibuang dan numpuk. Di tempat lain ada yang dipakai bahan baku briket tapi tidak banyak, mungkin karena teknologi pengolahnya juga terbatas,” jelas pria kelahiran 2 Maret 1984 ini, ditemui di sela Jatim Fair di Grand City.

Paman Hepic iseng-iseng mengolah tempurung sendiri dengan dibantu mesin potong sederhana yang berukuran kecil. Dari situlah usaha berawal, sekitar 11 tahun silam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com