Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pabrik dengan Sistem Lama Bisa Ditinggal Petani

Kompas.com - 31/12/2010, 04:25 WIB

Surabaya, Kompas - Manajemen pabrik gula dianjurkan menggunakan sistem pengukuran rendemen individual untuk merangsang petani tetap membudidayakan tebu. Pabrik gula yang menggunakan sistem lama bisa ditinggalkan petani.

Hal itu dikatakan Kepala Bidang Penelitian Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan, Jawa Timur, Nahdudin, Kamis (30/12). Selama ini pabrik gula (PG) menggunakan penghitungan kolektif, yaitu per kelompok tani. Dampaknya, petani dengan tebu bagus berpenghasilan sama dengan petani yang tebunya buruk. Akhirnya petani tidak terdorong meningkatkan produktivitas tanaman.

P3GI menemukan alat Core Sampler Tipe Horizontal (CS-ISRI-07). Dengan alat ini, analisis rendemen individual dapat ditetapkan dengan baik dan cepat, kapasitas giling tidak terganggu karena analisis rendemen dilakukan di luar jalur pasokan di stasiun giling. ”Sistem ini dapat mengukur kotoran, kewayuan/basi, kemasan tebu, serta tebu keprasan,” kata Nahdudin.

”Pembayaran untuk petani bisa cepat. Tebu yang diambil dari truk langsung diketahui total berat dan rendemennya sehingga bisa langsung dibayar,” katanya.

Terkait usulan penghitungan menggunakan berat tebu, Nahdudin berpendapat, sistem itu bisa membangkrutkan PG karena petani bisa menanam tebu jenis bululawang yang beratnya tinggi, tetapi rendemennya rendah.

Beberapa PG sudah melakukan sistem individual, misalnya di lingkungan PTPN X. Demikian Manajer Tanaman PG Krebet Baru, Malang, Audry Jolly Lapian.

Lebih menguntungkan

Petani juga lebih menyukai PG yang menggunakan sistem rendemen individual karena dianggap lebih menguntungkan dan transparan. Petani di Lumajang memilih mengirim tebu ke PG Krebet Baru walau lokasinya lebih jauh dibandingkan dengan PG di Lumajang dan Jember.

”Petani meragukan validitas sistem penghitungan rendemen lama,” kata Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat PG Semboro, Jember, Marzuki A Ghofur. Ini memicu kekecewaan petani sehingga beralih ke tanaman lain.

Kalangan petani di Kediri menuding PG diskriminatif dalam penghitungan rendemen antara petani besar yang merangkap sebagai pedagang dan petani kecil. ”Sering rendemen milik petani besar lebih tinggi dibandingkan petani kecil walau hamparan lahannya sama. Akhirnya petani kecil menjual tebu langsung kepada petani besar,” kata Mat Khunani, petani Desa Adan- adan, Kecamatan Gurah, Kediri.

Berdasarkan temuan Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya, petani tidak hanya menghadapi penghitungan rendemen yang tidak transparan, tetapi juga diskriminatif. Petani besar yang punya akses ke PG memperoleh rendemen tinggi, sementara rendemen petani kecil rendah.

Menyikapi seringnya konflik petani dengan PG soal penghitungan rendemen, Pemprov Jatim pernah membentuk tim rendemen untuk mengawasi penghitungan rendemen, tapi tim tak efektif. (ANO/SIR/DIA/THT/RAZ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com