Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Air Asin" Kebutuhan Hidup Layak Buruh

Kompas.com - 26/01/2011, 08:13 WIB

KOMPAS.com Komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal gaji tak naik selama tujuh tahun yang disampaikan di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, pekan lalu, memang ampuh. Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Selasa (25/1/2011), langsung merespons dan menyampaikan, pemerintah bakal menaikkan gaji sedikitnya 8.000 pejabat pemerintah dari pusat sampai ke daerah. Tentu saja presiden yang kini bergaji Rp 62 juta per bulan ikut di dalamnya.

Terlepas dari beragam komentar yang beredar, kita menyayangkan tanggapan kenaikan gaji Presiden dengan mengaitkan nasib buruh relatif sedikit. Padahal, buruh formal kini semakin menciut dan peluang mereka yang masuk ke kelompok miskin meningkat karena degradasi kualitas hidup.

Hasil pemantauan upah minimum provinsi (UMP) oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi per 22 Desember 2010, dari 33 provinsi, hanya Lampung, Sulawesi Barat, dan Papua sedang dalam proses penetapan gubernur.

Adapun Maluku Utara masih dalam pembahasan dewan perwakilan rakyat daerah. Sementara Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah tidak menetapkan UMP sehingga pemerintah pusat mengambil data penetapan upah minimum kabupaten/kota terendah di ketiga provinsi tersebut.

Berbicara tentang nasib sedikitnya 33,8 juta buruh formal dari 116,5 juta angkatan kerja tahun 2010, memang tidak terlalu menarik. Para elite politik, baik di eksekutif maupun legislatif, baru fasih berbicara kesejahteraan buruh saat pemilihan umum. Tetapi, saat buruh meminta mereka lebih membumi memperjuangkan penetapan upah minimum di atas kebutuhan hidup layak (KHL) dan inflasi, pengambil kebijakan lebih banyak diam.

Dari 29 provinsi yang sudah memiliki UMP tahun 2011, baru delapan provinsi yang menetapkan lebih dari 100 persen KHL. Kondisi ini memprihatinkan. Apalagi jika kita melihat nilai filosofis upah minimum yang bertujuan menjadi jaring pengaman bagi pekerja lajang dengan masa kerja maksimal 1 tahun. Sampai kini, masih banyak pengusaha yang menggaji pekerja pemilik masa kerja bertahun-tahun dengan upah minimum.

Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar dengan tingkat kenaikan gaji yang lebih kecil dari inflasi. Kalau kondisi ini terus terjadi, bagaimana mereka bisa meningkatkan taraf hidup, menyekolahkan anak, berobat ke dokter saat sakit, sampai memiliki rumah sendiri yang layak. Buruh formal harus bekerja keras melebihi delapan jam kerja demi mengejar upah lembur. Anak-anak buruh terpaksa berhenti sekolah dan meneruskan kemiskinan karena sedikitnya 40 persen upah orangtua mereka terkuras untuk biaya transportasi dan kontrakan.

Buruh harus berjuang bertahan hidup dari gaji yang kian tak bertenaga menghadapi kenaikan harga beras, cabai rawit merah, minyak goreng, sampai biaya kesehatan. Pemerintah seperti tak memberikan banyak pilihan bagi buruh karena lapangan kerja baru tak bertumbuh dan pengusaha kian gemar memakai buruh kontrak.

Berbicara remunerasi pejabat ibarat minum air laut yang asin. Semakin banyak mereka menikmati, kian haus rasanya. Sementara buruh, harus hidup menahan lapar. (Hamzirwan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com