Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Draf Moratorium Hutan yang Beredar

Kompas.com - 07/02/2011, 03:37 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana pemberlakuan jeda tebang atau moratorium hutan seperti yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terancam gagal karena banyaknya kepentingan politik dan bisnis yang menentangnya. Beredarnya beberapa versi draf moratorium yang diajukan ke presiden mengindikasikan adanya konflik kepentingan tersebut.

”Kami menemukan banyak draf moratorium yang secara substansi bertentangan satu sama lain. Sebagian substansi draf itu menunjukkan adanya upaya penggagalan atau pengerdilan konsep moratorium,” kata Manajer Program hutan dan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) atau Yayasan Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, Giorgio Budi Indrarto, di Jakarta, Sabtu (5/2).

Indrarto menambahkan, salah satu draf tersebut disusun oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Sementara draf lainnya diajukan oleh Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Koordinator Perekonomian.

Namun, Deputi I UKP4 Heru Prasetyo mengaku tidak mengetahui berapa draf moratorium yang sudah diajukan ke Presiden. ”Satgas memang telah menyerahkan draf yang ditugaskan kepada kami untuk menyusunnya, tetapi saya belum dapat menyampaikan isinya sebelum komentar dari Presiden kami terima,” katanya.

Heru menyebutkan, pada intinya jeda tebang dua tahun dilakukan untuk memikirkan dan menata kembali tata cara kita menata hutan. ”Agar kita dapat mengusahakan pertumbuhan ekonomi kita secara berkelanjutan tanpa terlalu banyak merusak aset sumber daya alam, dalam hal ini hutan dan segala isinya,” katanya.

Sesuai perjanjian dengan Norwegia, Indonesia seharusnya sudah menerapkan jeda tebang hutan alam mulai Januari 2011. Sebagai imbalan atas moratorium itu, Indonesia dijanjikan akan diberi dana 1 juta dollar AS. Namun, hingga kini hal tersebut belum terlaksana. Presiden belum menandatangani draf jeda tebang hutan.

Hanya hutan primer

Koordinator Program Perubahan Iklim HuMa, Bernadinus Steni, mengatakan, dari sisi substansi, masyarakat sipil cenderung setuju versi UKP4. ”Walaupun ada kelemahan, masih lebih kuat komitmennya karena yang dimoratorium adalah hutan alam, artinya mencakup hutan primer dan sekunder. Selain itu, ada peluang untuk memperbaiki tata kelola kehutanan yang keliru,” katanya.

Sementara dalam draf versi Menko Perekonomian disebutkan, yang akan dimoratorium hanyalah hutan alam primer dan gambut. Dalam draf ini, pemetaan dan klasifikasi hutan primer tersebut dibuat oleh Kementerian Kehutanan. ”Kalau yang dimoratorium hanya hutan primer, apa bedanya dengan aturan-aturan sebelumnya? Ini hanya akal- akalan,” kata Steni.

Sesuai data Kementerian Kehutanan 2002, luas lahan kawasan hutan Indonesia adalah 133.229 juta hektar, yang terbagi atas hutan lindung seluas 30.060 juta hektar, hutan konversi sebesar 19.371 juta hektar, dan hutan produksi 83.798 hektar.

Secara hukum, kawasan hutan Indonesia lebih luas kategori kawasan hutan sekunder daripada primer. ”Sebagian besar hutan primer ada pada kawasan lindung, khususnya di taman nasional. Jika moratorium hanya berlaku pada hutan primer, apa gunanya dibuat aturan baru?” kata Steni.

Bahkan, tambah Steni, beberapa hutan primer di Indonesia hanya tersisa di taman nasional. Bahkan, beberapa taman nasional juga sudah dialihfungsikan, misalnya Taman Nasional Kutai dan Taman Nasional Bukit Dua Belas. ”Ini membuktikan kegagalan konsep konservasi kita sebelumnya,” kata Steni.(AIK/ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com