Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat China Jenuh, RI Harus Siap

Kompas.com - 18/02/2011, 07:31 WIB
Oleh Simon Saragih

”Melompatlah ke laut” adalah ungkapan terkenal almarhum Presiden Deng Xiaoping untuk mendorong kapitalisme di China. Hamparan karpet merah bagi investor, antusiasme China perantauan, termasuk asal Indonesia, dan penyediaan infrastruktur berkualitas dunia mengubah drastis perekonomian China.

Partai Komunis pintar memanfaatkan mata rantai bisnis global. Hal ini menjadikan China bagian utama jaringan produksi global yang bergerak 24 jam sehari seperti ban berjalan.

Sikap tak kompromi terhadap gangguan stabilitas serta toleransi nol terhadap aksi sektarian dan segregasi wilayah menjadikan China negara terstabil di dunia. Hal ini diperkuat sikap kukuh dan kemandirian pemerintah menyikapi guncangan dan destabilisasi eksternal. China tak mudah gugup terhadap gertakan Amerika Serikat yang sering mirip musang berwajah domba.

Racikan kebijakan ekonomi, birokrasi energik, dan kesediaan tenaga kerja murah turut menyulap China dari sarang kemiskinan menjadi pasar bagi produk state of the art yang menjadi buah bibir pengusaha global.

Dari penghasil barang, kini China menjadi konsumen dunia berkat rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen per tahun selama 31 tahun terakhir. ”Kami kini menjadi negara seperti Jepang pada dekade 1980-an,” kata Prof Dr Yan Jianmiao, Dekan Jurusan Ekonomi Internasional Universitas Zhejiang, Hangzhou.

Namun, tidak ada pertumbuhan abadi, tak ada aktivitas ekonomi yang tak jenuh. China tak akan terus bisa menyedot investasi dunia. Buldoser ekonomi, sadar atau tidak, memunculkan terlalu banyak derita. Ada polusi di sungai, udara, dan tanah yang pernah mengorbankan warga satu desa akibat limbah merkuri.

Ada penyerobotan lahan tanpa ganti rugi memadai dan eksploitasi buruh yang bekerja 24 jam dalam tiga ronde di ruangan tak sehat. Hal ini melahirkan aktivis hak asasi manusia seperti Chen Guangcheng, seorang pengacara buta yang siap mati untuk menyadarkan Partai Komunis. ”Jangan menutup mata terhadap isu seperti ini jika Anda ke China,” kata Jack Lebon, eksekutif di perusahaan Belgia yang sudah 20 tahun bermukim di Beijing.

Saat bergegas

Hal itu mulai menyadarkan pemerintah tentang konsekuensi negatif model pembangunan bermotokan ”pertumbuhan, apa pun biayanya” (growth at all cost). ”Repelita ke-12 periode 2011-2015 akan mengubah strategi pembangunan ekonomi,” kata Prof Yan yang turut merencanakan pembangunan.

Ketimpangan wilayah serta kesenjangan antara kaya dan miskin adalah ancaman sosial politik baru yang muncul dari sukses ekonomi. "Princeling", julukan bagi birokrat dan kroni serta keluarga yang mendadak kaya karena menerima suap dari investor, menjadi isu mencuat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com