Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR Kritik LSM Dukung Moratorium Hutan

Kompas.com - 22/02/2011, 11:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Beberapa anggota DPR mengkritik keinginan sejumlah lembaga swadaya masyarakat asing agar Indonesia menerapkan moratorium konversi terhadap semua jenis hutan. Hal ini karena sebenarnya yang sering merusak lingkungan adalah negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat.

"Jika pihak asing tidak menginginkan kerusakan lingkungan, ini harus dimulai dari mereka. Bukan sebaliknya, memaksa Indonesia mengurangi emisi karbon, sementara AS dan Eropa justru paling banyak memproduksi karbon," kata anggota Komisi XI DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva Kesuma Sundari, di Jakarta.

Seperti diketahui, sesuai dengan Kesepakatan Oslo tahun lalu, moratorium hutan hanya berlaku pada kawasan hutan primer dan lahan gambut, yang efektif pada awal tahun ini. Namun belakangan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing hendak memaksakan moratorium hutan berlaku untuk semua jenis kawasan hutan, seperti hutan sekunder dan area penggunaan lainnya.

Eva mengatakan, jika Indonesia diminta untuk menjaga lingkungan untuk menghasilkan oksigen, negara maju juga harus mengimbanginya dengan cara mereka tidak boros energi. "Biar adil," katanya.

Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR ini juga mengaku heran mengapa LSM asing tidak menyoroti kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan pertambangan, tertutama yang dikelola asing. Padahal, kerusakan hutan akibat pertambangan justru lebih besar dibandingkan dengan pembukaan lahan untuk tanaman produktif.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo juga mengingatkan, jika moratorium tetap dijalankan, bisa menimbulkan revolusi sosial. Menurut dia, sebagai negara hukum dan berdaulat, Indonesia tidak boleh diatur-atur asing.

Firman menjelaskan, program Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) yang dirancang pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dipastikan akan terhambat jika moratorium tetap dilaksanakan. Selain itu, menurut dia, MDGs juga sulit tercapai jika rakyat tidak lagi mampu membeli nasi.

Kedua politisi ini sama-sama berpendapat, hal paling penting saat ini adalah komitmen kuat dari pemerintah tentang bagaimana mengelola hutan dan sumber daya alam dengan lestari. Menurut mereka, upaya ini lebih prorakyat sekaligus meningkatkan perekonomian nasional.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, potensi hilangnya investasi yang membutuhkan kawasan hutan untuk kegiatan kehutanan dan nonkehutanan diperkirakan mencapai Rp 29 triliun per tahun pascakesepakatan LoI Indonesia-Norwegia.

Kalau implementasi moratorium diterapkan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi 26 persen sampai 10 tahun ke depan, kehutanan akan kehilangan potensi dari investasi kegiatan HTI, kebun (sawit), biomassa, dan tambang yang membutuhkan kawasan hutan seluas 14 juta hektar.

Dia mencatat, kebutuhan kawasan hutan setiap tahun untuk HTI sebanyak 500.000 hektar dengan investasi Rp15 juta per hektar, sawit 300.000 hektar dengan investasi Rp 35 juta per hektar, biomassa 200.000 hektar dengan investasi Rp 10 juta per hektar, dan kebutuhan tambang 400.000 ribu hektar dengan investasi paling kecil Rp 20 juta per hektar.

Dia mengatakan, potensi investasi yang hilang dari HTI Rp 7,5 triliun, sawit Rp 10,5 triliun, biomassa Rp 3 triliun, dan tambang Rp 8 triliun. Kondisi itu juga menyebabkan hilangnya kesempatan kerja langsung untuk 700.000 orang. (*) (ANT/R009)

Editor: Ruslan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com