FRANS SARONG
Selain dorongan pemerintah daerah, ada dua tokoh yang berjasa terkait tanaman kakao di NTT. Pertama, Pater Heinnrich Bollen SVD, biarawan Katolik asal Jerman yang mengabdikan diri di Kabupaten Sikka. Dialah orang pertama yang mengenalkan tanaman kakao kepada petani di Sikka pada 1950-an, sekitar 30 tahun sebelum Pemerintah Provinsi NTT gencar mendorong pengembangan tanaman kakao tahun 1980-an.
Pater Heinnrich waktu itu mendatangkan benih kakao dari Pantai Gading. Berkat jasanya, Sikka menjadi sentra utama kakao NTT dengan produksi sekitar 10.000 ton per tahun. Sesuai dengan statusnya sebagai biarawan, usaha kakao di Sikka sepenuhnya misi sosial, bukan bisnis.
Tokoh lainnya adalah Hengky Lianto, warga Kota Kupang yang menjadi pelopor usaha kakao di NTT. Kakek dua cucu ini satu-satunya pengusaha yang menggeluti perkebunan kakao di NTT.
”Tanaman kakao yang berkembang di NTT umumnya perkebunan rakyat. Di luar itu hanya Hengky Lianto yang menggeluti usaha perkebunan kakao kategori PBS (perkebunan besar swasta),” ujar mantan guru Sekolah Menengah Pembangunan Pertanian Boawae, Flores, Raymundus Lema.
Pengakuan senada diungkapkan Yulius Umbu Moto, staf teknis khusus tanaman kakao Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT di Kupang. ”Belum ada investor lain yang mengikuti jejak Hengky Lianto berkebun kakao. Mungkin karena mereka menilai berkebun kakao tak menjanjikan, harus menunggu 5-6 tahun baru mulai berproduksi,” kata Umbu Moto.
Hengky awalnya kontraktor mitra Dinas Perkebunan NTT di Kupang. Salah satu proyeknya adalah pembenihan kakao untuk disebarkan ke sejumlah kabupaten di NTT. Proyek itu secara tak langsung memaksa dia mengirimkan karyawan mempelajari usaha pembenihan dari pusat penelitian kopi dan kakao di Jember, Jawa Timur, tahun 1991.
Anakan kakao hasil pembenihan Hengky lalu disebarkan kepada para petani, antara lain di Sita, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, dan terus berkembang. ”Rata-rata petani di Sita belum lupa kalau anakan kakao mereka saya yang memasok. Kami menyebarkan anakan kakao itu sampai ke kampung-kampung meski untuk itu kami harus berjalan kaki,” cerita Hengky.