Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah di Balik "Delay"...

Kompas.com - 07/06/2011, 08:37 WIB

KOMPAS.com — Pertumbuhan penumpang angkutan udara di Indonesia pada 2010 mencapai 22,39 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan dunia sebesar 8,20 persen. Jelaslah negara ini masih berada dalam fase euforia terbang.

Kita belum tahu kapan euforia itu berhenti. Belum tahu di angka persentase berapakah pertumbuhan yang pas untuk 230 juta penduduk. Angkanya masih terus bergerak. Pesawat terus ditambah untuk menerbangkan lebih banyak penduduk.

Namun, di tengah upaya ”mengudarakan” lebih banyak orang, ada pengalaman tak nyaman seperti penundaan penerbangan (delay). Manajemen Lion Air—yang hari-hari ini kerap delay¯pun membuka wawasan kita bahwasanya delay adalah harga mahal pertumbuhan udara yang fantastis itu.

”Kalau mau aman, dapat saja di tiap rute disiapkan pesawat cadangan. Tapi cost-nya, biaya produksinya, terlalu tinggi sehingga pembebanannya ke tarif. Dengan tarif tinggi, tak semua orang mampu terbang. Tak ada itu, Jakarta-Surabaya cuma Rp 350.000,” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait.

Keterlambatan Lion pun sebenarnya diawali migrasi sistem untuk pelayanan yang lebih baik saat jumlah pilot makin banyak. Kekacauan serupa juga pernah dialami Garuda Indonesia pada November 2010 akibat migrasi sistem.

Lion, dengan 80 pesawat, kini memang merajai kepulauan ini dengan penguasaan 48 persen pasar. Kuncinya, pengoptimalan utilisasi pesawat dengan pengaturan terbang ke sejumlah kota. Namun, delay 10 menit di rute pertama, memicu delay 20 menit di rute kedua. Saling berentet.

Akan tetapi, dalam banyak kasus lain, delay bukan monopoli kesalahan pilot—atau manajemen. Ada banyak faktor penyebab delay. Mulai dari alasan klasik, seperti cuaca buruk hingga kerusakan pesawat tanpa dukungan pesawat cadangan.

Di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, kini delay mulai dipicu keterlambatan awak pesawat. Akar masalahnya, lalu lintas kota yang sulit diprediksi, diperparah tak adanya transportasi massal yang ”bebas hambatan” menuju bandara.

Yang tak dipahami penumpang, terkadang delay akibat keterbatasan bandara. Landasan pacu, runway, yang hanya satu kerap menghambat pergerakan pesawat. Minimnya fasilitas terminal juga memperlambat penumpang naik-turun.

Malang bagi maskapai penerbangan, penumpang tak mau mengerti. Kompensasi makanan dituntut ada. Meski berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008, kompensasi disediakan maskapai penerbangan hanya karena maskapai bersalah. Delay karena cuaca buruk mestinya tak membuahkan kompensasi.

Akibatnya, maskapai yang ketiban pulung. Sial. Lima pesawat saja delay, maskapai harus mencari 1.000 paket makanan. Bukan hal mudah. Belum lagi, harus mencari 1.000 kamar hotel. Mungkin penumpang menuding maskapai mencari 1.000 alasan ketika delay. Tapi, delay bukan urusan sederhana, Bung.... (HARYO DAMARDONO)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com