JAKARTA, KOMPAS.com — Wacana mengharamkan pembelian bahan bakar minyak bersubsidi (premium) bagi kalangan ekonomi atas melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia dinilai berlebihan. Tak sepatutnya MUI memasuki ranah kebijakan publik yang merupakan domain pemerintah.
"Ini berlebihan. MUI tidak perlu ikut campur kebijakan publik. Kalau persoalan ini menjadi haram atau enggak, ini bukan wilayah yang harus dimasuki MUI," kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/6/2011).
Menurut dia, pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kebijakan pengendalian penggunaan premium. Campur tangan MUI akan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya melakukan kontrol.
Lagipula, menurut politisi PDI-P ini, fatwa MUI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat yang bisa menjamin warga negara untuk menaatinya. "Saya kasihan dengan MUI kalau (fatwanya) tidak dijalankan publik. Ini menunjukkan ketidakcerdasan (pemerintah) dalam masalah dengan bersandar pada MUI," tandasnya.
Wacana fatwa MUI dalam penggunaan BBM bersubsidi mengemuka setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh bertemu dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Ma'ruf Amin, di Kementerian ESDM, Senin (27/6/2011) lalu.
Dalam pertemuan tersebut, Kementerian ESDM mengajak MUI turut berpartisipasi dalam kampanye pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Sejauh ini, pihak MUI menyebutkan hal tersebut masih wacana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.