JAKARTA, KOMPAS.com - Kemajuan teknologi dan ilmu kehutanan semakin memudahkan investor menganalisis perkembangan stok karbon di konsesi mereka. Kombinasi satelit dan radar membuat pemantauan tutupan hutan dapat meningkatkan akurasi penilaian stok karbon.
Hal ini mengemuka dalam diskusi panel bertajuk Laporan Terbaru dari Lapangan: Mekanisme Pengawasan, Pelaporan, dan Verifikasi Hutan Gambut di Jakarta, Selasa (26/7/2011). Diskusi dibuka Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto.
Citra satelit berkait pengawasan, pelaporan, dan verifikasi (monitoring, reporting, and verification/MRV) belum efektif karena kerap terganggu awan. Oleh karena itu, data radar yang dipasang di bawah badan dan sayap pesawat atau pesawat ringan terbang di atas kawasan pemantauan, bisa disinkronkan dengan citra satelit yang belum komplit.
Teknologi radar membuat investor bisa menilai antara lain peningkatan stok karbon dari pertumbuhan tanaman. Kombinasi ini memudahkan pelaksanaan MRV sebagai mekanisme penting, untuk menilai pengurangan degradasi lahan dan penggundulan hutan dalam menekan emisi karbon.
"Kita memerlukan MRV dengan teknologi baru. Teknologi citra satelit dari Amerika Serikat dan radar dari Jepang adalah kerja sama yang baik, sehingga kita bisa mengetahui seberapa besar emisi karbon ada di lahan gambut," ujar Hadi.
Indonesia kerap menjadi sorotan dunia internasional, dengan tuduhan penghasil emisi karbon terbesar akibat kebakaran lahan dan penggundulan hutan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan, Indonesia harus menurunkan emisi karbon tahun 2020 sebanyak 26 persen secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Menurut peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Mahmud A Raimadoya, penelitian di konsesi hutan tanaman industri PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries dan mitra kerja di Sumatera Selatan, yang merupakan pemasok bahan baku pulp PT Indah Kiat Pulp and Paper, menunjukkan stok karbon naik. Investor pun tinggal memilih, ingin mengembangkan bisnis hutan tanaman berbasis lacak stok karbon atau langsung memperdagangkan stok karbon, sambil menunggu daur tanam-panen tiba.
Pakar lahan gambut dari IPB, Basuki Sumawinata, menegaskan, peneliti harus cermat menghitung emisi karbon di lahan gambut. Penelitian harus meliputi musim hutan dan kemarau karena suhu, temperatur, dan kelembaban sangat memengaruhi emisi karbon.
"Selama ini ada blow up yang berlebihan soal lahan gambut. Emisi karbon rendah saat musim hujan atau banjir dan naik saat kemarau," ujar Basuki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.