Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/08/2011, 07:26 WIB

KOMPAS.com - Kegundahan. Begitulah perasaan yang acap kali diidap para perajin batik di tengah ingar-bingar pasar batik. Begitu juga saat berlangsung pameran, festival, bazar, atau pasar rakyat, di mana perajin batik ikut terlibat guna mempromosikan produk batiknya.

Di balik setiap pameran batik, terutama yang berlangsung di Jakarta, perajin batik biasanya diajak untuk memasarkan produknya. Pameran bisa berlangsung lima sampai 10 kali dalam setahun. Tiap tahun, nilai transaksi dari pameran dilaporkan melonjak. Kadang nilainya "direkayasa" wajib melonjak. Maklum, ini untuk menunjukkan kesuksesan penyelenggara.

Padahal, kenaikan nilai transaksi yang tak sesuai realitas itu justru mencekik perajin batik. Biaya sewa setiap pameran dibuat mahal. Bisa mencapai Rp 11 juta hingga Rp 15 juta untuk sekadar sewa tempat selama empat hari. Bahkan, biaya sewanya lebih mahal lagi, tergantung dari strategisnya lokasi.

Andaikan dikabarkan pamerannya gratis karena difasilitasi anggaran pemerintah daerah, itu pun sesungguhnya hanya menjadi "permainan" belaka. Semuanya hanya untuk menghabiskan anggaran tanpa ada manfaat langsung kepada perajin batik karena berlangsung di dalam negeri. Padahal, dana tadi sebenarnya bisa digunakan untuk membuat pameran yang lebih bergengsi bagi produk batik, semisal dilakukan di luar negeri.

"Ironis sekali. Bertahun-tahun, kita ini hanya dijadikan orang-orang jago kandang," kata Dudung, perajin batik pekalongan, Jawa Tengah, di sela-sela pameran batik di Kementerian Perindustrian, Kamis (4/8/2011).

Penghargaan batik Indonesia sebagai warisan dunia bukan benda, sebagaimana disematkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada Oktober 2009, seharusnya diikuti dengan upaya besar memperkenalkan batik ke seluruh dunia. Dengan demikian, batik sungguh diakui sebuah warisan budaya milik Indonesia.

Dan ini merupakan sebuah kerinduan besar perajin batik seperti menempatkan produk batik di Harrods Department Store, pusat perbelanjaan terkemuka di London, Inggris. Kalau pemerintah ingin tidak menjadikan perajin jago kandang, sudah saatnya seluruh anggaran pameran di dalam negeri diakumulasikan untuk pameran besar semisal di Eropa.

Ajaklah 500 perajin batik. Fasilitasi mereka yang mengerti batik. Bukan sekadar pedagang batik, apalagi "perajin" yang dekat dengan pejabat pemerintah. Begitulah kerinduan perajin batik. Bukan terus-menerus dijadikan "jago kandang".

Menteri Perindustrian MS Hidayat tetap mengingatkan, pasar domestik tentu juga harus dijaga. Jangan kecolongan produk batik asing. Tetapi go international juga harus, paling tidak, dalam dua tahun ke depan ini. (Stefanus Osa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com