Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cadangan Devisa Indonesia Berbeda dengan China

Kompas.com - 11/11/2011, 11:40 WIB
Orin Basuki

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com  Indonesia memang layak untuk merasa tenang dengan cadangan devisa yang saat ini mencapai 120 miliar dollar AS.

Akan tetapi, Indonesia juga patut waspada pada kualitas cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia karena sebagian dari sumber cadangan tersebut berada pada investasi portofolio di pasar modal sehingga kualitas cadangan devisa Indonesia berbeda dengan milik China.

"Cadangan devisa sudah 120 miliar dollar AS. Rasio utang di bawah 25 persen terhadap produk domestik bruto, sedangkan defisit APBN rendah. Kalau perekonomian statis, kita sebenarnya aman. Namun, jangan lupa, kita juga tidak aman. Ada faktor psikologis pasar yang melihat kualitas cadangan devisa Indonesia. Cadangan devisa kita tidak sama seperti China yang dikumpulkan dari surplus perdagangan sehingga memang benar-benar milik perusahaan China," ujar Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute Wijayanto di Jakarta, Jumat (11/11/2011).

Menurut Wijayanto, komposisi cadangan devisa yang memiliki unsur portofolio mengandung risiko penarikan tiba-tiba sehingga cadangan devisanya langsung turun. Ini sulit diperkirakan kapan bisa terjadi karena bergantung seberapa besar tingkat kepanikan pelaku pasar di Indonesia terhadap perkembangan krisis perekonomian global.

"Ketika pelaku pasar panik, yang menjadi musuh bukan hanya investor asing, tetapi juga orang Indonesia sendiri. Seperti yang terjadi pada 1998, banyak orang Indonesia yang membeli dollar AS sehingga rupiah terpuruk," ujarnya.

Atas dasar itu, untuk memperkecil risiko penarikan secara tiba-tiba tersebut, Indonesia harus segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK).

Keberadaan JPSK akan melengkapi perangkat perlindungan sektor keuangan yang membutuhkan setidaknya empat hal, yakni penjamin simpanan, lender of the last resort, lembaga regulator, dan pengawas keuangan, serta sistem koordinasi antarlembaga keuangan.

"Penjamin simpanan sudah ada, yakni LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), lalu lender of the last resort di sektor keuangan sudah ditetapkan Bank Indonesia, lalu untuk regulator dan pengawas keuangan sudah ada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Namun, kita belum memiliki sistem yang mengatur koordinasi antarlembaga pengawas dan regulator itu. Ini hanya bisa diisi oleh JPSK," tutur Wijayanto.

Dalam membentuk JPSK nanti, Indonesia sebaiknya meniru Amerika Serikat dalam menghadapi krisis. Untuk menghadapi krisis tahun 2008, JPSK yang dibangun Amerika Serikat memungkinkan adanya komunikasi antara pemerintah dan DPR (Kongres) setidaknya sebulan sekali, dan setiap ada rencana suntikan modal di atas 50 miliar dollar AS.

Amerika juga melibatkan Biro Investigasi Federal (FBI) dan Kejaksaan dalam JPSK mereka. Kemudian ada peninjauan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Amerika Serikat.

Lebih dari itu, JPSK yang diatur dalam The Emergency Economic Act (Undang-undang Kedaruratan Ekonomi) ini memberikan kewenangan penuh kepada menteri keuangan untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memulihkan krisis.

"Dengan pengaturan itu, Amerika Serikat tidak ribut meskipun sejak tahun 2008 ada 310 bank yang ditutup. Ada banyak pertanyaan, mengapa AIG diselamatkan dengan suntikan 160 miliar dollar AS, tetapi Lehman Brother dibiarkan jatuh, lalu Goldman Sach diselamatkan. Semuanya dipertanyakan, tetapi tetap saja berjalan karena semuanya sudah diatur dalam undang-undang," ujarnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com