Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RI Harus Waspadai Beban Keuangan Jepang

Kompas.com - 28/11/2011, 09:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Selain mewaspadai dampak krisis utang dari negara-negara Eropa, Indonesia juga harus hati-hati akan imbas dari beban utang Jepang yang meningkat. Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan, jika Jepang krisis, maka dampaknya ke Indonesia akan lebih besar dibandingkan dampak dari krisis Eropa. Hal itu karena perekonomian Indonesia dari segi perdagangan maupun investasi banyak berhubungan dengan Jepang.

"Kalau Jepang memburuk, otomatis ekspor kita terancam," ujarnya. Seperti diketahui, Jepang merupakan negara tujuan ekspor terbesar setelah China. BPS mencatat, per September 2011, ekspor Indonesia ke China mencapai 14,90 miliar dollar AS disusul Jepang pada posisi kedua dengan nilai ekspor 13,63 miliar dollar AS  dan ketiga ke Amerika Serikat sebesar 11,84 miliar dollar AS.

Bukan hanya itu, saat ini Jepang juga menjadi negara donor yang sering memberi bantuan hibah atau utang untuk proyek-proyek pembangunan di Indonesia. Sementara dari segi market, exposure Jepang lebih tinggi jika dibandingkan negara-negara Eropa. "Jepang merupakan lender terbesar di Indonesia setelah World Bank. Maka kalau Jepang krisis, kita juga akan terganggu," imbuhnya.

Ekonom EC Think Telisa Falianty menambahkan, krisis utang di Jepang sejatinya tidak serumit krisis Eropa. Pasalnya hampir 95 persen obligasi Jepang dimiliki oleh investor lokal yang terdiri dari dana pensiun, asuransi dan perbankan. Hal ini akan membuat Jepang lebih mudah menyelesaikan krisis utangnya dibandingkan negara-negara di Eropa.

Telisa berpendapat, saat ini yang menjadi masalah utama bukan hanya soal utang, tetapi stagnansi perekonomian Jepang. "Kalau Jepang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonominya, maka rasio utangnya juga bisa dikurangi," imbuhnya.

Meski demikian, Telisa yakin Jepang dapat segera mengatasi permasalahannya dengan cepat dan tidak sampai merembet ke negara-negara Asia.

Tapi, jika terlambat mengantisipasi masalahnya, kestabilan makro Jepang bisa terganggu. Ini akan menyebabkan inflasi Negeri Sakura cenderung meningkat. Dengan inflasi yang tinggi, maka suku bunga akan naik, dan imbal hasil atas obligasi Jepang juga meningkat. Hal ini akan memberikan sentimen negatif buat pasar. "Jepang harus lebih disiplin dari sisi fiskal, misal mengurangi pengeluarannya dan meningkatkan konsumsi masyarakat," saran Destry.

Catatan saja, sebelumnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan lembaga pemeringkat utang dunia yaitu Standard & Poor kembali mengingatkan Jepang akan rasio utang Jepang terhadap gross domestic product (GDP) yang 200 persen  lebih tinggi. Rasio ini bahkan lebih tinggi dari rasio utang negara-negara Eropa yang sedang terbelit krisis, seperti Yunani 160 persen, Italia 119 persen, Portugal 103,1 persen, Irlandia 102,4persen. (Narita Indrastiti/Kontan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com