Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha agar Aktif Registrasi

Kompas.com - 05/01/2012, 02:50 WIB

Jakarta, Kompas - Pengusaha mengaku repot dengan pemberlakuan registrasi kepabeanan. Sejumlah kontainer tertahan karena pemiliknya tidak bisa menunjukkan nomor induk kepabeanan. Akan tetapi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai meminta pengusaha aktif melakukan registrasi.

Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Susiwijono di Jakarta, Rabu (4/1), menyatakan, sistem nomor induk kepabeanan (NIK) untuk eksportir belum efektif diberlakukan per 1 Januari lalu. Sebagaimana ketentuan, masih ada tenggat waktu selama 14 hari kerja sejak 1 Januari.

Menanggapi niat sejumlah asosiasi untuk mengajukan permohonan penundaan masa pemberlakuan NIK, Susiwijono menyatakan, sebenarnya hal itu tak perlu. Asalkan proaktif mengurus, semua perusahaan ekspor-impor yang belum mengantongi NIK akan terjaring semuanya dalam sisa tenggat waktu.

Dari pihak DJBC, ia menegaskan siap memfasilitasi penuh. Bahkan, ia menjamin bisa menyelesaikan dalam tempo sehari jika semua perusahaan proaktif mendaftar.

”Masih ada 14 hari kerja. Kalau saya usulkan, dari sisa yang belum mendapatkan NIK, kami menawarkan fasilitasi penuh. Saya sediakan komputernya, aksesnya, saya dampingi pejabatnya, saya jamin sehari selesai. Lho itu, kan, menyelesaikan kewajibannya. Kalau ditunda, apa mengurangi kewajiban,” kata Susiwijono.

Sampai dengan Rabu pukul 10.00, importir dan eksportir yang terdaftar sebanyak 14.520 perusahaan. Sementara total perusahaan ekspor-impor sekitar 15.000 perusahaan.

Dari banyak kasus barang ekspor yang ditolak, menurut Susiwijono, sebagian besar tidak ada hubungannya dengan NIK. Misalnya di Pelabuhan Tanjung Priok, sekitar 70 persen tertunda karena kode barang salah. Sementara di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, 90 persen karena kode tak sesuai buku tarif kepabeanan Indonesia (BTKI).

”Saya hanya ingatkan kepada eksportir, silakan kalau memang mau mengajukan surat perpanjangan kepada Menteri Keuangan, tetapi urgensinya enggak ada. Lha wong sudah 14.520 dari 15.000 perusahaan (yang memiliki NIK). Mau diperpanjang apanya. Itu pun masih ada ruang 14 hari kerja,” kata Susiwijono.

Sekretaris Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Frangky Sibarani di Jakarta, Rabu, mengatakan saat ini ada sekitar 180 kontainer makanan dan minuman yang tertahan di pelabuhan karena tidak bisa menunjukkan NIK. Untuk beberapa jenis makanan yang tidak tahan lama, hal itu jelas merugikan karena makanan bisa rusak.

”Kalau harus balik ke pabrik lagi, berarti butuh tambahan biaya,” katanya.

Frangky meminta eksportir yang barangnya tertahan di pelabuhan mendapatkan prioritas pengurusan NIK. Tujuannya, supaya barang-barang tersebut bisa dilanjutkan proses pengirimannya.

Menurut Theo Tatang Hadinata, eksportir produk tanaman hias, seperti benih krisan stek, dari PT Saung Nirwan, kemarin, gagal mengekspor benih krisan ke Jepang karena terhambat NIK. Ia menyesalkan karena tidak ada pengumuman ataupun pemberitahuan sebelumnya kalau ada kebijakan itu.

”Tiap hari Rabu, saya ekspor krisan stek ke Jepang. Staf saya tidak pernah tahu kalau ada NIK, pengumuman di Bandara Soekarno-Hatta juga tidak ada. Ketika tadi saya mau ekspor, ternyata barang enggak bisa berangkat,” katanya. (MAS/ENY/OSA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BEI: Eskalasi Konflik Israel-Iran Direspons Negatif oleh Bursa

BEI: Eskalasi Konflik Israel-Iran Direspons Negatif oleh Bursa

Whats New
IHSG Turun 1,11 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.260

IHSG Turun 1,11 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.260

Whats New
IPB Kembangkan Padi 9G, Mentan Amran: Kami Akan Kembangkan

IPB Kembangkan Padi 9G, Mentan Amran: Kami Akan Kembangkan

Whats New
Konsorsium Hutama Karya Garap Proyek Trans Papua Senilai Rp 3,3 Triliun

Konsorsium Hutama Karya Garap Proyek Trans Papua Senilai Rp 3,3 Triliun

Whats New
Kementerian PUPR Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syaratnya

Kementerian PUPR Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1, Ini Syaratnya

Work Smart
Juwara, Komunitas Pemberdayaan Mitra Bukalapak yang Antarkan Warung Tradisional Raih Masa Depan Cerah

Juwara, Komunitas Pemberdayaan Mitra Bukalapak yang Antarkan Warung Tradisional Raih Masa Depan Cerah

BrandzView
Rupiah Melemah Tembus Rp 16.200 Per Dollar AS, Apa Dampaknya buat Kita?

Rupiah Melemah Tembus Rp 16.200 Per Dollar AS, Apa Dampaknya buat Kita?

Whats New
Dollar AS Tembus Rp 16.200, Kemenkeu Antisipasi Bengkaknya Bunga Utang

Dollar AS Tembus Rp 16.200, Kemenkeu Antisipasi Bengkaknya Bunga Utang

Whats New
Bawaslu Buka 18.557 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Prioritas Kebutuhannya

Bawaslu Buka 18.557 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Prioritas Kebutuhannya

Whats New
Ingin Produksi Padi Meningkat, Kementan Kerahkan 3.700 Unit Pompa Air di Jatim

Ingin Produksi Padi Meningkat, Kementan Kerahkan 3.700 Unit Pompa Air di Jatim

Whats New
Kemenhub Buka 18.017 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Kemenhub Buka 18.017 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Whats New
Melalui Pompanisasi, Mentan Amran Targetkan Petani di Lamongan Tanam Padi 3 Kali Setahun

Melalui Pompanisasi, Mentan Amran Targetkan Petani di Lamongan Tanam Padi 3 Kali Setahun

Whats New
Konflik Iran-Israel Bisa Picu Lonjakan Inflasi di Indonesia

Konflik Iran-Israel Bisa Picu Lonjakan Inflasi di Indonesia

Whats New
Kartu Prakerja Gelombang 66 Resmi Dibuka, Berikut Persyaratannya

Kartu Prakerja Gelombang 66 Resmi Dibuka, Berikut Persyaratannya

Whats New
Kemensos Buka 40.839 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Kemensos Buka 40.839 Formasi CPNS dan PPPK 2024, Ini Rinciannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com