Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Izin Penangkapan Ikan Memberatkan Nelayan

Kompas.com - 19/01/2012, 20:52 WIB
Anwar Hudijono

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com — Aturan perizinan untuk kegiatan perikanan tangkap menyulitkan kalangan nelayan. Selain birokrasi yang panjang dan berbelit-belit, nelayan juga harus mengeluarkan biaya besar.

Demikian disampaikan Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan (FMKP) Oki Lukito di Surabaya, Kamis (19/1/2012).

Menurut Oki, untuk dapat beroperasi, nelayan harus memiliki surat izin atau sertifikasi perahu. Surat izin itu terdiri dari Surat Ukur Kapal, Pas Tahunan, Sertifikat Kelaikan dan Pengawakan Kapal Penangkap Ikan yang berlaku satu tahun serta harus diperpanjang setiap tahun.

Demikian pula dengan gross akta, yaitu pendaftaran kapal yang berlaku selama kapal beroperasi. Izin ini dikeluarkan Administratur Pelabuhan (Adpel). Di Jawa Timur kewenangan tersebut berada di Adpel Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Adpel Pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi.

Untuk mendapatkan izin itu, kata Oki, waktu yang diperlukan sampai final sekitar 5 bulan dengan persyaratan memiliki surat kontrak pembangunan kapal, berita acara serah terima kapal, dan surat keterangan galangan. Selain itu, masih harus dilakukan pengukuran kapal.

”Banyaknya persyaratan yang harus dilengkapi sangat memberatkan nelayan. Dana yang harus dikeluarkan juga cukup besar untuk ukuran nelayan, yaitu Rp 800.000-Rp 2,5 juta per perahu walaupun biaya resminya tidak lebih dari Rp 50.000,” katanya.

Demikian pula waktu pengurusan yang cukup lama mengingat hanya ada dua lokasi pelabuhan di Surabaya dan Banyuwangi yang diberi kewenangan.

Susahnya lagi, lanjut Oki, perahu atau kapal tersebut harus dicek fisik sehingga nelayan dari Puger, Jember, dan nelayan pantai selatan harus mengurus di Banyuwangi. Demikian pula nelayan yang tinggal di kepulauan dan pesisir utara, seperti Tuban, Lamongan, Gresik, dan Pasuruan harus ke Surabaya.

Miskin
Prosedur pengurusan perizinan yang berbelit-belit dan biaya yang mahal menyebabkan nelayan memilih tidak mengurus izin. Di Jawa Timur sekitar 90 persen kapal ikan beroperasi tanpa izin atau secara ilegal.

Di Jawa Timur tercatat 9.054 perahu berbobot mati 5 ton, sebanyak 6.798 perahu berbobot mati 10 ton, dan 2.592 unit berukuran 10 hingga 30 ton, sedangkan perahu berukuran di atas 30 ton  sebanyak 114 unit.

Lebih lanjut Oki mengatakan, peraturan itu jelas tidak berpihak kepada masyarakat pesisir yang miskin dan termarjinalkan. Banyak nelayan yang ditangkap ketika sedang mencari ikan di tengah laut dan tidak sedikit yang perahunya disita oleh aparat pengawasan, seperti Polair, TNI AL, Kamladu, karena tidak dapat menunjukkan surat izin saat dilakukan operasi.

Di tengah kesulitan nelayan menangkap ikan dan semakin besarnya biaya operasional penangkapan, pemerintah seharusnya menyederhanakan urusan perizinan agar tidak memberatkan dan merugikan nelayan. ”Bila perlu, perizinan dihapus saja untuk perahu ukuran di bawah 30 ton,” katanya.

Ditegaskan, tanpa regulasi sektor perizinan sampai kapan pun tidak mungkin seluruh kapal perikanan di Jatim mendapatkan izin. Sementara proses pengawasan dan penangkapan kapal ikan di tengah laut oleh aparat penegak hukum semakin ketat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com