Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Setelah Peringkat Naik?

Kompas.com - 02/02/2012, 02:13 WIB

Anwar Nasution

Peningkatan peringkat utang RI oleh dua lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings dan Moody’s Investor Service, baru-baru ini, perlu disambut gembira.

Kenaikan peringkat utang itu akan meningkatkan citra Indonesia di pasar keuangan internasional dan menurunkan tingkat bunga surat utang negara ataupun swasta di pasar dunia. Namun, kita perlu terus waspada menghadapi gejolak perekonomian dunia saat ini. Hanya beberapa waktu sebelum krisis, lembaga pemeringkat sama memuji-muji dan meningkatkan peringkat surat utang Spanyol. Juga perlu disadari, kenaikan peringkat itu buah dari kebijakan yang hanya menekankan stabilitas perekonomian dan mengabaikan upaya peningkatan produktivitas serta daya saing untuk mencapai pertumbuhan kokoh dan berkesinambungan.

Ada dua kebijakan stabilisasi yang menonjol yang menghambat pertumbuhan: kebijakan fiskal dan kebijakan nilai tukar. Dalam hal fiskal, pemerintah menekan defisit APBN hingga 1-2 persen dari PDB dan rasio pinjaman negara terhadap PDB hanya sekitar 25 persen. Kedua rasio ini jauh di bawah pagu yang diperbolehkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni 3 persen dan 60 persen.

Sementara itu, berkat kenaikan nilai ekspor komoditas primer ke China dan India serta pemasukan modal jangka pendek, rupiah dibiarkan menguat terus-menerus. Pada gilirannya, rupiah yang menguat itu membuat harga komoditas impor jadi murah sehingga menyumbang pada upaya menekan laju inflasi sesuai target yang ditetapkan BI. Di lain pihak, rupiah yang terlalu kuat mengurangi daya saing komoditas ekspor dan merangsang alokasi faktor-faktor produksi yang menurunkan efisiensi perekonomian nasional.

Deregulasi pasar faktor produksi

Kenaikan peringkat surat utang RI tak terkait dengan upaya untuk mengatasi hambatan (bottlenecks) pertumbuhan perekonomian nasional dewasa ini. Selain dari kebijakan ekonomi makro, hambatan pembangunan nasional juga karena kurangnya prasarana perhubungan, listrik, regulasi pertanahan, dan faktor perburuhan ataupun regulasi serta perizinan yang menghambat dunia usaha yang meningkatkan biaya produksi.

Untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya saing, dan memacu pertumbuhan ekonomi perlu deregulasi serta reformasi besar-besaran di pasar tenaga kerja, pertanahan, infrastruktur, listrik, dan perizinan usaha. Hanya dengan supply side reform seperti itu, daya saing dan produktivitas ekonomi nasional dapat ditingkatkan, investasi di sektor industri manufaktur dapat digalakkan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

Karena keterbatasan pemerintah, swasta perlu diikutsertakan untuk membangun infrastruktur. Distorsi di pasar tenaga kerja dan pertanahan perlu dikoreksi.

Gabungan antara kondisi infrastruktur yang terbatas, rupiah yang menguat, dan perizinan serta iklim usaha yang kurang baik membuat Indonesia kurang menarik bagi PMA. Berbeda dengan negara ASEAN lain, Indonesia tak masuk dalam global supply chain, yakni penghasil suku cadang serta komponen barang-barang elektronik dan otomotif yang banyak menyerap tenaga kerja. Ironinya, karena di dalam negeri tak ada lapangan pekerjaan, tenaga kerja Indonesia merantau ke seluruh dunia, termasuk Malaysia, menjadi buruh perkebunan ataupun pekerja di pabrik milik investor Jepang, Korea, Taiwan, dan investor lain. Kenapa para investor asing ini tidak diundang ke Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com