Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Minyak Bisa Tembus USD150-175

Kompas.com - 03/02/2012, 11:15 WIB
Putut Prabantoro


KOMPAS.com - Dalam kunjungan ke Sekretariat OPEC di Wina, Austria pada Jumat, 27 Januari 2012 lalu, rombongan dari Indonesia yang terdiri dari -- wakil dari Kementerian ESDM yakni Hufron Asrofi dan Susyanto, serta dari BPMigas yakni Amrizal Syahrin, Gde Pradyana dan Putut Prabantoro-- terlibat diskusi hangat mengenai Selat Hormuz.

Selat Hormuz menjadi menarik dibicarakan karena pemerintah Iran akan mengancam menutup selat tersebut jika negara Barat bersikeras ingin meninjau fasilitas nuklir di negara itu. Menjawab ancaman pemerintah Iran, pemerintah AS merespon dengan mengirim kapal induknya ke daerah konflik tersebut.

Jika ancaman selat Hormuz benar-benar terjadi, selain akan mengundang AS dan sekutunya untuk membuka paksa pemblokadean tersebut, akibat yang akan sangat terasa bagi dunia termasuk Indonesia adalah harga minyak yang akan membumbung tinggi.

Para analis pasar minyak memperkirakan akan terjadi lonjakan harga minyak yang menyentuh US$ 150 – US$175. Namun, berdasarkan analisa pasar, lonjakan harga minyak itu bersifat sementara atau istilahnya spike dan akan kembali normal ke level US$ 100. Hal ini dimungkinkan karena negara-negara IEA akan melepas cadangan minyak strategis mereka.

Sebenarnya, di dalam OPEC sendiri, tidak ada kata bulat untuk merespon kasus Selat Hormuz tersebut, dengan latar belakang berbagai kepentingan ekonomi, keamanan dan politis masing-masing negara anggota. Para negara anggota OPEC secara politis alirannya berbeda-beda dan responnya akan berbeda pula. Di organisasi ini, ada tiga kelompok dalam melihat kasus ini.

Kelompok Negara Arab yang terdiri dari Arab Saudi, Qatar, UAE dan Kuwait adalah kelompok kepentingan Arab. Sementara kelompok keras terdiri dari negara Venezuela, Iran dan Libya. Kelompok terakhir yang disebut relatif netral adalah Nigeria, Ekuador, Irak, Aljazair dan Angola.

Namun, sebagian besar negara anggota OPEC berharap bahwa Selat Hormuz tidak akan ditutup. Kenaikan harga minyak secara mendadak, yang dipicu oleh penutupan selat tersebut, kapanpun dan dimanapun akan akan menyulitkan setiap permerintah negara pengimpor. Instabilitas sosial dan keamanan suka tidak suka akan terjadi di negara yang pasokan minyaknya melalui jalur Selat Hormuz dan berdampak pada negara pengimpor non jalur Selat Hormuz.

Iran mengekspor minyak mentah sekitar 2.5 juta barel/hari, negara tujuan ekspor Iran yang terbesar adalah China (450.000 barrel/hari), India (350.000 barrel/hari), Jepang (300.000 barrel/hari), Korea Selatan (200.000 barrel/hari) dan total negara Eropa (500.000 barrel/hari).

Penutupan Selat Hormuz ini akan memaksa negara pengimpor seperti yang disebutkan di atas mencari negara sumber lain sebagai pengganti. Yang artinya juga, ini merupakan kesempatan (opportunity) bagi negara penghasil minyak untuk berproduksi lebih banyak lagi. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah seberapa cepat produksi minyak bisa dinaikkan segera untuk menutupi kekurangan minyak akibat konflik antara Iran dan AS, selain Arab Saudi yang mempunyai kapasitas ekstra lebih dari 2 juta barrel/hari.

Bagi Indonesia, penutupan Selat Hormuz ini tidak mempengaruhi produksi minyaknya. Hanya saja dampak itu terasa pada APBN. Kenaikan harga minyak ini akan berdampak langsung pada APBN mengingat Indonesia sekarang ini sudah bukan lagi negara pengeskpor minyak karena mempengaruhi harga asumsi di APBN

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com