Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengembalikan Kejayaan Lada

Kompas.com - 11/02/2012, 03:39 WIB

Pada saat perdagangan sejumlah komoditas pertanian mengalami penurunan permintaan, komoditas lada seolah tidak terimbas oleh kelesuan tersebut. Permintaan lada dunia semakin meningkat. Data dari International Pepper Community menunjukkan, ekspor lada dunia bertumbuh sekitar 3 persen per tahun.

Indonesia memiliki andil besar dalam perdagangan lada dunia dan merupakan salah satu negara pengekspor lada terbesar setelah Vietnam. Lada Indonesia yang masuk dalam perdagangan dunia terutama berasal dari Provinsi Bangka Belitung dan Lampung. Dua wilayah ini menghasilkan jenis lada yang berbeda. Provinsi Bangka Belitung menghasilkan lada putih yang dikenal dengan sebutan Muntok White Pepper. Provinsi Lampung merupakan penghasil lada hitam yang dikenal dengan sebutan Lampung Black Pepper.

Dari kedua jenis lada tersebut, lada putih memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Nilainya bisa dua kali lipat daripada harga lada hitam. Lada putih di tingkat petani mencapai Rp 70.000 per kilogram, sedangkan lada hitam sekitar Rp 30.000 per kilogram. Harga kedua jenis lada ini cenderung meningkat. Saat ini, harga lada di tingkat eksportir sekitar 7.000 dollar AS per ton. Negara tujuan ekspor lada putih 75 persen berada di Asia, di mana sekitar sepertiganya diekspor ke Singapura.

Dalam sejarahnya, Indonesia sudah dikenal sebagai pemasok sekitar 80 persen dari kebutuhan lada dunia sebelum Perang Dunia II. Bahkan, selama masa penjajahan Belanda pada abad ke-18, lada mampu menyumbang sebesar dua per tiga dari keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial (VOC).

Data International Pepper Community (IPC) menunjukkan, Indonesia merupakan negara yang diperhitungkan dalam perdagangan lada putih dunia. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menguasai ekspor lada dunia selama separuh dekade pertama (2001-2005). Pada paruh berikutnya (2006-2010), Vietnam mulai menyalip posisi Indonesia sebagai eksportir utama lada dunia.

Menurunnya ekspor lada putih Indonesia ini disebabkan oleh menurunnya produksi dari daerah penghasil, seperti yang dialami Provinsi Bangka Belitung.

Penurunan produksi disebabkan oleh banyaknya lahan lada yang beralih fungsi menjadi lahan penambangan timah inkonvensional. Iming-iming keuntungan dari pertambangan yang menggiurkan menyebabkan petani menjual lahan dan pekarangannya untuk penambangan timah.

Euforia perkebunan sawit juga merebak di provinsi ini. Ekspansi perkebunan sawit mengambil lahan perkebunan lada, bahkan ada pula yang mencoba memadukan dua tanaman ini dalam lahan yang sama. Ekspansi perkebunan kelapa sawit di provinsi ini cukup pesat, dengan peningkatan sekitar 30 persen sejak tahun 2005.

Kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam hal penyediaan sarana produksi, seperti bibit unggul dan pupuk yang memadai, misalnya pupuk kimia atau organik, juga menjadi permasalahan pokok yang dihadapi petani lada.

Kesadaran untuk mengembalikan kejayaan lada perlu ditumbuhkan kembali. Bagi kalangan petani, komoditas lada bisa menjadi komoditas penting untuk keberlanjutan ekonomi mereka ketimbang mengandalkan penambangan timah semata.

Belajar dari wilayah penambangan di tempat lain, usaha penambangan menyimpan potensi konflik dan memiliki dampak kerusakan lingkungan yang tidak bisa dipulihkan dalam waktu singkat. (YULIANA RINI DY/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com