Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Miskoordinasi Pemerintah Perparah Sumberdaya Air

Kompas.com - 22/03/2012, 19:11 WIB
Evy Rachmawati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengelolaan sumber daya air di Indonesia dinilai tidak profesional. Hal ini mengakibatkan Indonesia yang kaya dengan sumber air, tetapi yang terjadi justru Indonesia kekurangan air bersih.

"Miskoordinasi antara pemerintah, baik pusat dan daerah ataupun antardaerah menjadi penyebab makin parahnya sumber daya air bersih,'' kata Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari dalam siaran persnya, menyambut Hari Air dunia yang jatuh pada 22 Maret, di Jakarta, Kamis (22/3/2012).  

Dalam berbagai kasus, kata Rovicky, daerah tangkapan hujan berbeda pemerintahan dengan daerah yang memanfaatkan air. Hal ini mengakibatkan sering terjadi ketidaksepahaman sehingga terjadi saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah.

"Pemerintah pusat semestinya menjalankan kekuasaannya untuk melakukan koordinasi agar masalah seperti itu bisa diatasi dengan baik ketersediaan air bersih bagi masyarakat," kata dia menambahkan.

Pihak IAGI mengkhawatirkan terjadinya kelangkaan air bersih secara massal. Oleh karena, makin banyak jumlah penduduk, maka kian banyak kebutuhan terhadap air bersih. Apalagi hampir semua daerah perkotaan merupakan daerah landai yang bukan merupakan daerah tangkapan air. Tentu saja kebutuhan air tanahnya sangat tergantung daerah terdekatnya yang bertopografi tinggi. 

Untuk itu, tata guna lahan di daerah tangkapan air di perbukitan dan pegunungan terdekat dengan perkotaan ini harus dijaga terus-menerus sehingga tingkat suplai air tanahnya tidak terganggu.

''Jika tidak dilakukan penataan, daerah tangkapan air akan gundul, sehingga daerah perkotaan yang di dataran rendah akan makin kesulitan memperoleh air,'' kata dia menambahkan. 

Menurut ahli tataair dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), Amien Widodo, penggundulan ini terjadi karena pemerintah tidak tegas terhadap pengalihan lahan. Sebagai contoh, daerah yang semula hutan lindung menjadi daerah wisata. Akibatnya hutan yang ada harus ditebang.

Pemerintah juga abai terhadap penggundulan hutan sebagaimana terjadi pada peralihan dari Orde Baru ke periode Reformasi pada 1998 di mana terjadi  pembabatan hutan oleh rakyat dan pengusaha secara masif. 

Perilaku lain yg juga menyebabkan terjadinya kelangkaan air bersih, menurut Amien, adalah pengambilan air tanah yg tidak proporsional, baik untuk industri maupun pertanian. Di kawasan hulu tidak ada penambahan air yg meresap, di bagian tengah  terjadi pengambilan berlebih maka di kawasan pantai air tanah akan tercemar air laut karena  intrusi air laut.

''Kawasan yang terintrusi air laut  akan makin luas kalau kita tidak melakukan aksi,'' katanya.  Semestinya Indonesia yang memiliki curah hujan rata-rata tahunan 2.779 mm tidak perlu kekurangan air bersih.

Sayangnya menurut data Kementerian Pertanian, dari seluruh curah hujan itu, hanya 270 mm (34 persen) yang tersimpan di dalam tanah menjadi air. Sisanya, sekitar 66 persen menjadi air limpasan permukaan (run off) yang sebagian besar akibat bencana seperti banjir. 

Untuk itu Amien mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan ketahanan air sebagaimana ketahanan energi dan ketahanan pangan. Dengan posisi itu, problematika air bisa diprioritaskan dalam rencana pembangunan ke depan. ''Air harus diselamatkan untuk masa depan Indonesia,'' kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com