Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gairah Bisnis Tenun Ikat

Kompas.com - 22/04/2012, 12:35 WIB

                                                                                          KORNELIS KEWA AMA

Usaha tenun ikat manual butuh kesabaran dan ketekunan. Apalagi, harus memanfaatkan bahan baku benang dari kapas lokal (asli) hasil budidaya kelompok sendiri. Usaha semacam ini hanya dijalankan 42 kelompok tenun ikat dari suku Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tenun ikat berbahan kapas asli lebih mahal dan bernilai adat tinggi.

Masyarakat di 21 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki keterampilan tenun ikat dengan motif bervariasi. Namun, hampir sebagian besar kelompok menggunakan bahan baku benang toko atau pabrikan. Benang yang lebih mudah diperoleh.

Maria Yovita Meta (49) adalah satu dari sekian penggiat tenun ikat di NTT yang masih mempertahankan tenun ikat dari kapas lokal. Ditemui di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Senin (26/3/2012), ia sedang membina 30 pelajar perempuan dari beberapa sekolah di kota itu. Pembinaan sejak tahun 2007 itu dilakukan karena kian sedikit kaum perempuan berminat dalam keterampilan ini.

”Ini bagian dari pendidikan ekstrakurikuler sekolah. Saya ke dinas pendidikan dan kebudayaan serta sejumlah sekolah meminta mereka mendukung program ini. Mereka setuju, para siswa dilatih, kemudian melatih teman-teman mereka,” kata Meta.

Direktris Yayasan Taveam Pah ini juga membina 75 kelompok tenun ikat. Sekitar 42 kelompok fokus pada tenun ikat berbahan kapas dan 33 kelompok lain memilih benang toko. Setiap pekan, secara bergilir Meta dan tiga anggota staf mengunjungi kelompok binaannya. Kelompok yang mandiri cukup diamati dari jauh lewat hasil karya yang dikirim ke yayasan. Sekitar 66 motif tenun ikat dari suku Biboki segera dipatenkan. Tenun ikat Biboki dengan keanekaragaman motif kini juga menjadi bahan studi.

Ke-42 kelompok binaan ini beranggotakan 750 orang. Tiap kelompok beranggota 10-15 orang. Mereka tersebar di 12 desa di tiga kecamatan, khusus suku Biboki.

Meta yang lulus dari sekolah kepandaian putri ini selalu menekankan kepada kelompok agar wajib menanam kapas. Juga menanam tanaman tarum untuk pewarnaan.

Buah kapas yang dipanen lalu dijemur, dibersihkan, dan dipintal jadi benang secara berkelompok. Proses pintal benang ini biasanya berlangsung malam hari atau saat hari libur.

Satu kelompok dalam sehari menghasilkan 5-7 tukal benang atau satu kain sarung. Semua anggota harus berperan aktif pada hari yang sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com