Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naikan Harga BBM Ditentang, Pengendalian Pun Sulit

Kompas.com - 02/05/2012, 11:37 WIB
Ester Meryana

Penulis

KOMPAS.com - Pemerintah masih belum memutuskan suatu kebijakan untuk mengendalikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dipatok di APBN-Perubahan 2012 sebesar 40 juta kilo liter hingga kini. Pengendalian wajib dilakukan setelah kemungkinan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi harus mengacu pada persyaratan yang tertera di APBN-P 2012.

Harga BBM bersubsidi bisa disesuaikan jika realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) lebih dari 15 persen dari asumsi sebesar 105 dollar AS per barrel selama kurun waktu 6 bulan terakhir. Setelah itu muncullah rencana pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Tadinya, Pemerintah berencana melakukan itu pada 1 Mei 2012. Akhirnya mundur dan ditargetkan pertengahan Mei, pembahasan pengendalian bisa rampung.

Kebijakan pengendalian yang sudah tampak jelas adalah pengendalian konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas Pemerintah termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Ini memang mudah dilakukan karena tentunya Pemerintah sudah punya catatan jelas mengenai jumlah kendaraan. Dan, bisa juga terlihat dari warna plat atau kode platnya.

"Kita yang pertama pasti memutuskan semua kendaraan Pemerintah, BUMN, BUMD, tidak lagi menggunakan bahan bakar bersubsidi. Dengan anggaran yang sama ia harus menggunakan pertamax. Artinya harus ada penghematan," sebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, di Kantor Menko Perekonomian, Selasa (1/5/2012) sore.

Tapi, bagaimana nasib mobil pribadi? Belum jelas. Pemerintah sempat berwacana untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi menurut kapasitas mesin (cc). Wacana ini pun menimbulkan kontroversi baik dari Pemerintah sendiri dan pengamat.

Sempat ada wacana Pemerintah akan membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan menyebutkan mobil ber-plat hitam di atas 1.500 cc tidak lagi boleh mengonsumsi BBM bersubsidi. Hal ini muncul setelah melihat konversi ke bahan bakar gas tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat. Sempat pula beredar bahwa mekanisme untuk membedakan mobil itu dengan cara memasang stiker.

Hal tersebut ditentang oleh anggota DPR RI Komisi VII, Satya Widya Yudha. Stiker, kata dia, tidak bisa mengontrol volume konsumsi BBM bersubsidi. Mekanisme tersebut juga tidak bisa mengantisipasi terjadinya kebocoran volume BBM bersubsidi. Stiker bisa digandakan. Konsumen pun bisa dengan mudah memodifikasi tanki BBM kendaraan pribadinya. "Sistem stiker itu harus ditinggalkan. Itu akan menimbulkan konflik horizontal," tegas Satya kepada Kompas.com, Selasa (24/4/2012).

Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto, juga berpendapat stiker mudah dipalsukan. "Stiker gampang dipalsukan," sebut Pri, Senin (23/4/2012). Lucunya, belakangan ini, Pemerintah pun menilai pengendalian dengan kapasitas mesin ini sulit dilakukan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, menyatakan pengaturan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kendaraan pribadi berdasarkan kapasitas mesin (cc) sulit untuk dilakukan. Pemerintah belum bersepakat mengenai hal itu. "Yang belum yaitu urusan cc," sebut Jero, di Jakarta, Kamis (26/4/2012).

Ia mengatakan, untuk kapasitas mesin (cc) mudah dalam membuat peraturannya tapi sulit untuk diterapkannya. "Apa ada mobil yang 1.500 cc? Nggak ada. Yang ada 1.490 cc. Nanti ribut di lapangan," cetus Jero.

Masalah dari pengendalian lainnya adalah ketersediaan BBM non-subsidi, seperti Pertamax, yang menurut Himpunan Wiraswasta Nasional (Hiswana) Minyak dan Gas sering terlambat. Ketua Umum Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi pernah menyebutkan suplai BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, selama ini sering terlambat. "Pertamina itu sering terlambat mengirim Pertamax," ujar Eri kepada Kompas.com, Selasa (17/4/2012).

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com