Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vinsensius Loki, Membawa Kopi Ngada Mendunia

Kompas.com - 07/05/2012, 10:18 WIB

Samuel Oktora/ Kornelis Kewa Ama

Kopi arabika Flores Bajawa dari Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, telah menjadi kopi kelas dunia. Sebelum itu, perjuangan harus dilalui petani untuk mengangkat kualitas kopi Ngada hingga tingkat dunia. Upaya itu tak lepas dari sosok Vinsensius Loki.

Tahun 1999 Vinsensius nekat mengembangkan kopi meski saat itu apa yang dia lakukan ibarat menantang badai. Pasalnya, saat itu adalah masa keemasan vanili di Ngada hingga tahun 2003. Petani meraih keuntungan karena tingginya harga vanili.

”Banyak warga menolak ajakan saya mengembangkan kopi sebab harga biji vanili basah saja Rp 300.000 per kilogram (kg) dan biji vanili kering Rp 1,5 juta per kg. Bahkan, ada petani yang bisa membeli mobil baru dari hasil menjual vanili. Sedangkan harga kopi gelondong merah waktu itu rata-rata dibeli tengkulak Rp 600 per kg dan kopi biji kering Rp 8.000 per kg,” katanya.

Namun, ia berkeyakinan komoditas kopi, khususnya kopi arabika, lebih cocok dikembangkan di kampung halamannya, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, dibandingkan dengan vanili.

Desa Beiwali berada di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini cocok untuk pengembangan kopi arabika yang bisa tumbuh di daerah ketinggian 900 meter-1.600 meter di atas permukaan laut. Apalagi, warga setempat juga banyak yang memiliki tanaman kopi meski tak dirawat dengan sistem budidaya yang baik sehingga tingkat produksi dan mutunya rendah. Harga kopi pun mudah dipermainkan tengkulak karena petani belum punya kelembagaan yang kuat.

Vinsensius lalu melakukan pendekatan kepada sejumlah warga hingga terkumpul 25 orang yang mau bergabung dengannya. Mereka membentuk Kelompok Tani Penghijauan dan Rehabilitasi Lahan dengan program kerja lima tahun. Dalam kelompok itu dia menjadi ketuanya. Program awal mereka membudidayakan 1.000 pohon kopi per anggota yang dilakukan secara swadaya. Mereka juga mengembangkan pakan ternak seluas 1.000 meter persegi per anggota, dan menanam tanaman kayu lokal.

Mereka bertekad mengembangkan kopi organik sehingga anggota didorong memelihara ternak, seperti sapi, agar kotorannya bisa menjadi pupuk untuk tanaman kopi. Selain ternak itu pun dapat dijadikan alternatif ekonomi petani dalam kondisi sulit. Pengurus kelompok tani itu enam orang, yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, seksi peternakan, seksi perkebunan, dan seksi kehutanan. Total lahan kopi yang dimiliki kelompok ini tahun 1999 sekitar 40 hektar.

”Pertimbangan dibentuknya kelompok ini karena kami ingin mendapat bimbingan dan bantuan pemerintah daerah. Ini penting agar petani kopi bisa maju. Waktu itu syaratnya harus ada kelompok tani secara kelembagaan, program kerja, rapat bulanan, dan evaluasi tahunan,” katanya.

Berbuah dan ekspor

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com