Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemajuan Ekonomi RI Bukan karena Inovasi

Kompas.com - 09/05/2012, 07:44 WIB

JAKARTA KOMPAS.com — Kemajuan ekonomi Indonesia cukup diakui di kancah internasional. Ironisnya, kemajuan ekonomi itu masih bertumpu pada sumber daya alam, belum bersumber pada inovasi.

Wakil Presiden Boediono saat peringatan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia Ke-12, Selasa (8/5/2012), di Kantor Wakil Presiden, menegaskan bahwa Indonesia adalah anggota penuh forum terhormat G-20, kelompok negara yang sangat memengaruhi ekonomi dunia dari ratusan negara. Ini tentu membanggakan.

”Namun, yang memprihatinkan, kita berada di peringkat ke-20 dalam forum G-20. Ini berarti sumber kemajuan ekonomi kita belum bertumpu pada inovasi,” kata Boediono.

Wapres Boediono memerinci, jumlah paten internasional yang didaftarkan Indonesia hingga 2009 hanya enam buah. Jauh di bawah Amerika Serikat di peringkat pertama, disusul Jepang, yang jumlah patennya mencapai puluhan ribu. Dalam hal pendaftaran logo industri (trademark), Indonesia juga tertinggal jauh, hanya 15 buah. China memiliki 84.000 logo, Thailand 386 logo, Malaysia 513 logo, dan Filipina 54 logo.

Sumber kemajuan ekonomi Indonesia, menurut Boediono, masih bertumpu pada kekayaan sumber daya alam. Padahal, sumber kekayaan alam ini bisa menjadi ”kutukan” jika terus dieksploitasi, tanpa ada inovasi yang mengandalkan kemampuan sumber daya manusia. ”Dalam ’teori kutukan sumber daya alam’, mereka yang dikaruniai sumber daya alam melimpah justru menjadi bangsa yang tidak maju-maju kalau tidak hati-hati mengelolanya. Sumber daya alam yang melimpah cenderung membuat manusia agak santai dan malas karena tinggal diambil dan dijual,” katanya.

Menurut dia,  Indonesia sudah saatnya mampu mentransformasikan sumber daya alam itu menjadi kemampuan inovasi dan kreativitas sumber daya manusia. Wapres mencontohkan Norwegia yang memiliki kekayaan alam melimpah, tetapi tetap rasional dalam pemanfaatannya. Mereka menyisihkan sebagian kekayaan alamnya untuk pembangunan pada masa depan.

Produk mineral diatur

Sinyalemen Wapres Boediono, pertumbuhan ekonomi RI lebih didorong karena eksploitasi sumber daya alam tanpa adanya inovasi, terlihat dari data ekspor Badan Pusat Statistik (BPS) Senin lalu. Ekspor bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, karet dan barang dari karet, bijih, kerak dan abu logam, serta tembaga mendominasi 10 besar produk ekspor Indonesia.

Laporan BPS menyebutkan, total nilai ekspor sepanjang triwulan I-2012 mencapai 48,5 miliar dollar AS, naik 6,93 persen daripada nilai ekspor pada triwulan I-2011 sebesar 45,38 miliar dollar AS. Dari total ekspor ini, nilai ekspor nonmigas triwulan I-2012 mencapai Rp 38,5 miliar dollar AS, naik 3,87 persen daripada ekspor nonmigas pada triwulan I-2011 sebesar 37,09 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas ini, antara lain, karena ekspor bahan mentah, termasuk hasil mineral.

Dari struktur nilai ekspor triwulan I-2012, nilai ekspor produk industri mencapai 60 persen dari total nilai ekspor. Namun, nilai ini turun daripada triwulan I-2011 sebesar 62,48 persen. Sementara itu, ekspor produk tambang mencapai 16,82 persen, naik dibandingkan dengan triwulan I-2011 sebesar 16,46 persen.

Sejumlah program disiapkan pemerintah untuk menata sumber daya alam itu, terutama mineral. Salah satunya adalah peraturan Menteri Keuangan yang mengatur besaran bea keluar atas 14 jenis komoditas mineral. Peraturan itu diterbitkan pada Mei ini.

Ke-14 komoditas mineral tersebut adalah nikel, tembaga, emas, perak, timah, timbal, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, dan antimonium.

Pemerintah juga mendorong peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian. Langkah ini untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Dampaknya adalah peningkatan nilai ekspor Indonesia. (WHY/ENY)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com