Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musibah Sukhoi Jadi Tempat Pengabdian Pria Ini...

Kompas.com - 19/05/2012, 06:03 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Musibah jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/5/2012) lalu, mengejutkan dunia internasional. Sejumlah pihak seperti tim evakuasi, ahli forensik, dan ahli-ahli lainnya diterjunkan untuk mengatasi masalah tersebut.

"Yang jelas ini adalah pengabdian. Bagaimana empati kita untuk bisa mengidentifikasi. Kita juga berharap musibah ini kan tidak akan terjadi lagi," ujar Kombes Triawan Marsudi kepada Kompas.com di sela-sela kesibukannya mengidentifikasi jasad korban di RS Polri Bhayangkara, Kramat Jati, Jumat (18/5/2012).

Triawan adalah salah seorang yang tergabung dalam tim bertaraf internasional bernama Disaster Victim Identification (DVI). Sehari-hari, pria tiga anak tersebut merupakan dokter gigi sekaligus Kepala Laboratorium dan Klinik Odontologi Mabes Polri.

Mendapat tugas untuk mengidentifikasi bagian tubuh korban melalui ilmu yang dimilikinya mengenai gigi geligi bukan dianggapnya sebatas pekerjaan. "Sebagai manusia ya, tapi kan tugas kan enggak ada rasa ngeri atau apa, artinya padamu negeri jiwa raga kami," terangnya.

Sebagai tim yang profesional dan dituntut bekerja akurat dalam mencocokkan jasad korban Sukhoi, hal tersebut justru menjadi cambuk dalam diri serta tim lainnya untuk mengerahkan seluruh ilmu yang dimiliki. "DVI kan internasional, kalau merilis satu benar-benar harus tak terbantahkan," lanjutnya.

Hari ini merupakan hari ketujuh ia bekerja sejak Sabtu (12/5/2012) lalu, jasad korban pesawat berbendera Rusia tersebut dievakuasi lewat jalur udara ke Jakarta. Namun, sebagai abdi negara, pria yang berkecimpung di kedokteran kepolisian sejak tahun 1989 ini mengaku rela menanggalkan perasaan rindu anak dan istri di rumah, bahkan bekerja lebih dari 12 jam seharinya.

"Kalau orang Jawa itu ada istilah belahan jiwa, apa yang dialami suami, istri harus tahu, itu risiko, apalagi ditinggal-tinggal, sudah biasa," lanjutnya.

Ia mengungkapkan, posisi yang diembannya saat ini tidaklah diraih dengan mudah, tetapi lewat perjuangan. Masih teringat jelas di benaknya setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga tahun 1998, setahun kemudian hingga tahun 2000 ia harus bertugas di Papua dalam misi di daerah operasi militer.

Tahun 2003/2004, ia pindah ke Lampung dan bergabung dalam Operasi Tegak Rencong di bumi Aceh. Sebelum pindah ke Jakarta, pria 49 tahun ini mengabdi di Ternate, Maluku, serta Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Ia berharap pengabdian dan ketulusannya membantu keluarga korban pesawat naas tersebut mampu dibalas dengan perasaan puas atas kerjanya selama ini. "Mudah-mudahan dengan disiplin ilmu kedokteran yang dimiliki Polri dapat membantu memberikan identifikasi yang maksimal sehingga keluarga bisa segera dapat jenazah keluarganya," tutupnya.

Hingga kini, tim forensik gabungan tersebut telah berhasil mengidentifikasi 15 jasad yang terdiri dari 13 warga negara Indonesia dan 2 orang warga negara asing, yang mana 10 berjenis kelamin laki-laki dan 5 orang perempuan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com