Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konkretkan Hemat Energi!

Kompas.com - 04/06/2012, 07:43 WIB

KOMPAS.com — Betapa letihnya kita mendengar teriakan parau para pejabat negeri bahwa kita harus hemat energi. Kita letih karena seruan ini sudah kerap kita dengar sejak rezim Orde Baru, tetapi wujud riilnya kurang tampak.

Umumnya yang diserukan adalah konversi dari bahan bakar minyak (BBM) ke batubara atau bahan bakar terbarukan atau pencampuran bahan bakar minyak bumi dengan bahan bakar nabati. Lalu? Kita berjalan di tempat, tidak banyak hasil yang berarti. Kita lalu hanya ibarat berteriak di gurun. Keras menggema, lalu lenyap tak berbekas.

Hal yang tampak kasatmata, anjuran hemat energi, masih menyentuh hal kurang strategis. Misalnya, mengurangi penggunaan lampu, mengurangi pemakaian AC, seminimal mungkin menggunakan mobil dengan kekuatan mesin di atas 2.500 cc, atau tidak boleh menggunakan bahan bakar bersubsidi.

Padahal, implikasi hemat energi sangat luas. Apa sulitnya pemerintah mencanangkan semua kantor pemerintah berhenti menggunakan bohlam biasa dan mulai menggunakan lampu light emiting diode (LED), atau merancang bangunan yang bisa memakai cahaya alami pada siang hari. Setelah itu, pemerintah mempunyai semacam energi amat besar untuk mengajak perusahaan swasta menggunakan mesin-mesin hemat energi, lampu LED, dan sebagainya.

Pemborosan

Pemborosan energi yang dahsyat sebetulnya tampak di mana-mana. Pesawat, misalnya, menggunakan bahan bakar berlebihan karena antre mendarat, antre tinggal landas. Apa usaha pemerintah membuat bandara yang layak agar pesawat tidak boros bahan bakar. Sekarang, hitung ada berapa bandara di Indonesia! Berapa banyak yang dihemat jika pemerintah membangun bandara yang mampu menampung pesawat di tengah lalu lintas udara yang padat? Ini juga tampak di pelabuhan laut. Berapa lama kapal menanti untuk sandar?

Di jalan raya tidak kurang dahsyatnya. Berapa banyak bahan bakar terbuang sia-sia karena kendaraan beroda empat atau lebih terjebak kemacetan luar biasa di tol dan jalan-jalan bukan tol. Andaikan tidak ada kemacetan karena pemerintah mampu membangun infrastruktur bagus, berapa juta liter BBM dihemat?

Atau, yang lebih sederhana begini, berapa banyak BBM bisa dihemat kalau lalu lintas di semua pasar lancar? Di semua perempatan, pertigaan, dan belokan tidak ada kendaraan umum ngetem atau polisi berjuang luar biasa hingga kendaraan melaju lancar di seluruh ruang publik.

Dalam hal kendaraan pribadi, tidak tampak usaha keras pemerintah mengontrol jumlah kendaraan. Mobil buatan tahun 1960 masih ada yang meluncur di jalan raya, berdampingan dengan mobil-mobil luks. Belum tampak juga usaha pemerintah mengontrol mobil dengan mengenakan pajak jauh lebih tinggi terhadap kendaraan dengan kekuatan mesin di atas 2.500 cc. Pemerintah terkesan menikmati pajak kecil yang disumbangkan kendaraan mewah. Padahal, kendaraan ini sangat lahap "minum" BBM.

Hal yang tidak kalah pentingnya, apa yang diberikan pemerintah terhadap pengembang-pengembang yang semakin rajin membangun rumah dan gedung sangat ramah lingkungan atau yang makin sedikit menggunakan energi listrik?

Insentif apa yang diberikan pemerintah untuk pengembang yang benar-benar mengembangkan hunian atau perkantoran hemat energi atau menggunakan energi terbarukan. Di Singapura, pengembang yang mengembangkan sentra hunian atau perkantoran atau pusat belanja hemat energi mendapat insentif sampai miliaran rupiah.

Kita perlu melangkah jauh untuk menyelamatkan negeri kita dari ketergantungan pada energi BBM yang berlebihan. Harapan ini bisa terwujud hanya kalau kita membarenginya dengan usaha konkret hemat energi. Kita telah letih mendengar jargon. (Abun Sanda)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com