Isi lain revisi tersebut adalah kewajiban menjual 80 persen produk dalam negeri. Sisanya boleh produk impor.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo, di Jakarta, pekan lalu, mengatakan, revisi aturan ditargetkan selesai pada akhir bulan ini. Revisi tersebut disusun dengan melibatkan semua pihak terkait agar semua kepentingan bisa diakomodasi. ”Mudah-mudahan cepat selesai dan bisa dijalankan,” katanya.
Dia berharap revisi aturan tersebut segera kelar karena banyak kalangan yang menunggu. Revisi tersebut diharapkan menjadi acuan bagi praktik waralaba di Indonesia. Desakan revisi muncul karena aturan yang ada dinilai tidak mampu lagi merespons pertumbuhan waralaba, khususnya waralaba asing.
Dia mengatakan, dua poin penting yang diatur dalam revisi adalah ketentuan pemakaian produk dalam negeri dan pembatasan jumlah ritel di suatu kawasan. ”Waralaba diwajibkan memakai atau menjual 80 persen produk dalam negeri. Ini berlaku untuk semua jenis waralaba, termasuk apotek. Apotek jangan banyak jual obat-obat produksi luar negeri,” katanya.
Revisi juga mengatur jumlah ritel maksimal yang diperbolehkan di suatu kawasan. Tujuannya, tidak mematikan pedagang tradisional.
Menurut Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Kadin Indonesia sekaligus Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba Indonesia (Wali), Amir Karamoy, khusus untuk waralaba asing, poin yang direvisi adalah kewajiban waralaba asing merangkul pengusaha lokal. Selama ini, ketentuan tersebut hanya bersifat imbauan. Setelah diatur, nantinya menjadi kewajiban.
Tahun ini, Wali memprediksi akan ada 100 waralaba asing yang datang ke Indonesia. Stabilitas makroekonomi yang terjaga serta membaiknya daya beli masyarakat menjadi stimulus utama. Sampai tahun 2011 tercatat ada 400 waralaba asing yang sudah beroperasi di Indonesia. Mereka berasal dari Korea Selatan, Australia, Amerika Serikat, dan Malaysia. Total omzet waralaba tahun lalu diperkirakan Rp 114 triliun dan sekitar 60 persen di antaranya dikantongi waralaba asing.