Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konversi Lamban karena Pengguna Takut BBG Meledak

Kompas.com - 25/08/2012, 21:14 WIB
Dimasyq Ozal

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ada keyakinan di kalangan beberapa sopir bahwa bahan bakar gas (BBG) tidak aman dan mudah terbakar bila terjadi kebocoran. Padahal, hal itu tak selamanya benar. Ketakutan inilah yang membuat konversi BBM ke BBG berjalan lamban.

Hal ini seperti diungkapkan Suparman Chandra, pemilik PT Yama Engineering, perusahaan swasta yang fokus memproduksi gas, kepada Kompas.com di Jakarta, pertengahan Agustus lalu. Ini ia simpulkan dari hasil survei terhadap 100 sopir taksi.

"Ketakutannya adalah takut meledak. Kalau BBM, mereka tidak takut meledak. Kemudian saya tanya, siapa di sini yang memakai LPG? Lalu saya tanya, bisa tidur di rumah? Bisa. Kalau saya tanya ini BBG, bisa tidur tidak? Enggak. Mereka beranggapan bahwa gas LPG dan BBM itu lebih aman ketimbang BBG," ungkap Chandra.

Menurutnya, mitos seperti itu sudah tertanam dalam pola pikir para sopir dan masyarakat luas. Masyarakat pun masih setia menggunakan bensin. Sekalipun menggunakan gas, itu pun hanya untuk keperluan memasak.

 "Ibu saya untuk memindahkan pemakaian dari minyak tanah ke LPG butuh 3 bulan sampai mau," ungkapnya.


CNG Lebih Aman dan Murah
Suparman menjelaskan, ada dua jenis BBG kendaraan yang dapat dikembangkan, yakni gas alam yang dimampatkan atau dikompresi disebut compressed natural gas (CNG) dan gas yang dicairkan disebut liquefied gas for vehicle (LGV). LGV sendiri juga disebut Vi-Gas atau bentuk turunan dari LPG yang biasa digunakan untuk memasak (elpiji).

Chandra mengklaim, CNG lebih aman atau tidak mudah terbakar ketimbang BBG jenis LGV dan bensin sekalipun, saat terjadi kebocoran. Ini disebabkan, CNG lebih ringan dari udara dan akan langsung terlepas ke atmosfer atau menguap bila terjadi kebocoran. Ini berbeda dengan LGV yang beratnya dua kali lebih besar dari udara sehingga akan mengendap terlebih dahulu ke bawah.

Umumnya, kendaraan ber-LGV pun tidak diparkir di ruangan tertutup atau bawah tanah. Bila di bawah tanah, sebaiknya dipasangkan kipas ataupun ventilasi udara, seperti yang dilakukan di Jerman.

Dengan nilai kalor yang lebih tinggi pada LGV, menurutnya, penambahan volume yang sama akan memberi efek panas jauh lebih tinggi. Dengan demikian, perlu mesin yang punya daya tahan tinggi terhadap panas.

Dalam hal ini, Suparman menyimpulkan mesin-mesin kelas menengah ke bawah yang umumnya banyak digunakan di Indonesia dan biasa memakai premium akan lebih baik memakai bahan bakar CNG. Untuk mesin-mesin kelas atas (mobil sport), penggunaan LGV lebih tepat karena nilai oktan LGV setara dengan pertamax sebesar 98.

Hingga saat ini, BBG CNG banyak digunakan di Indonesia, khususnya Jakarta, untuk bahan bakar transportasi umum, yakni transjakarta dan Bajaj BBG.

Secara ekonomis, lanjut Chandra, CNG lebih murah dalam hal produksi dan penyimpanan dibandingkan LPG yang membutuhkan pendinginan dan tangki kriogenik yang mahal. Akan tetapi, CNG butuh tempat penyimpanan lebih besar untuk sejumlah massa gas alam yang sama. Selain itu, CNG perlu tekanan yang sangat tinggi. Menurutnya, pemasaran CNG lebih ekonomis untuk lokasi-lokasi stasiun pengisian yang berdekatan dengan sumber gas alam.

Sekalipun aman, menurutnya, biaya tabung dan perangkat konverter CNG seharga 900 dollar AS per set lebih mahal. Sementara itu, LGV lebih murah 100 dollar AS atau 800 dollar AS per set. Pasalnya, tekanan tabung gas CNG sebesar 200 bar, sementara LGV hanya 8 bar.

"Sopir taksi per hari rata-rata perlu bensin sekitar 30 liter, penggantian BBM ke CNG memberikan cost saving (penghematan minimal) untuk driver Rp 900 per liter atau Rp 27.000 per hari atau Rp 810.000 per bulan. Sementara itu, penggantian BBM ke LGV tidak memberikan cost saving (terlalu besar) ke sopir. Pasalnya, untuk LGV disubsidi menjadi sekitar Rp 4.500 per liter setara premium," ungkapnya.

Di kawasan Jadebotabek, harga jual LGV non-subsidi yang ditujukan bagi mobil pribadi sebesar Rp 5.600 per liter setara premium (LSP), sedangkan CNG non-subsisdi yang didistribusikan untuk angkutan umum dijual dengan kisaran harga Rp 3.100 per LSP.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com