Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapling di APBN Marak

Kompas.com - 07/09/2012, 10:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kapling atas anggaran pemerintah untuk beragam program bakal menjamur. Hal ini seiring dengan maraknya rancangan undang- undang yang gandrung mensyaratkan kuota alokasi dana. Jika dibiarkan, ruang fiskal akan menyempit meski volume anggaran kian bertambah.

Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, di Jakarta, Kamis (6/9/2012), menyatakan, ruang fiskal anggaran pemerintah saat ini tinggal 15-20 persen. Mayoritas sisanya tersedot untuk pengeluaran wajib.

”Jadi kalau mau membangun infrastruktur dan kegiatan-kegiatan utama yang memang harus dilakukan, kita hanya bisa mengandalkan dari sisa fiskal itu. Namun jangan lupa, kalau seandainya terjadi bencana alam atau hal-hal tidak terduga, kita mesti menggunakan ruang fiskal itu,” kata Agus.

Pengeluaran wajib adalah pengeluaran mengikat karena disyaratkan undang-undang. Contohnya adalah dana alokasi umum (DAU).

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, DAU minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri.

Dana pendidikan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945, alokasinya minimal 20 persen. Dana kesehatan, mengacu UU Nomor 36 tentang Kesehatan, minimal 5 persen dari APBN di luar gaji. Ada pula anggaran yang sifatnya wajib meski tidak diamanatkan dalam UU, seperti belanja pegawai.

”Kita sambut baik, misalnya, undang-undang yang mengalokasikan dana pendidikan 20 persen. Namun kalau kemudian semua sektor memasukkan (model persentase) itu, bisa-bisa lebih dari 100 persen,” kata Agus.

Saat ini, Agus melanjutkan, banyak muncul rancangan undang-undang (RUU) inisiatif legislatif yang mencantumkan persentase minimal anggaran. Contohnya adalah RUU Pembangunan Desa, RUU Pembinaan Masyarakat, dan RUU Keamanan Nasional.

Secara terpisah, ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad H Wibowo, menyatakan bahwa pengeluaran wajib seharusnya hanya untuk belanja yang benar-benar fundamental. Nilainya pun tidak boleh terlalu besar.

Besarannya, menurut Dradjad, maksimal 30 persen dari total belanja. Saat ini, porsi untuk dana pendidikan dan dana transfer saja telah mencapai 46 persen.

”Itu sudah terlalu besar. Belum lagi ditambah belanja yang tidak diperintah undang-undang tetapi bersifat wajib, seperti belanja pegawai,” kata Dradjad.

Pengeluaran belanja yang terus membesar, Dradjad menambahkan, akan merusak stabilitas fiskal Indonesia. Hal tersebut, antara lain, akan mengurangi kemampuan membayar utang. (LAS)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com