Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak Krisis Makin Nyata

Kompas.com - 10/09/2012, 07:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com  - Harga tiga komoditas ekspor unggulan, yaitu batubara, karet, dan minyak kelapa sawit mentah, yang tahun lalu menyumbang devisa 32,80 miliar dollar AS, atau lebih dari 16 persen dari total ekspor nasional, terus berjatuhan. Dampak krisis ekonomi global mulai memukul petani dan petambang kecil.

Laporan dari sejumlah daerah, Minggu (9/9/2012), menunjukkan, petani karet, petani sawit, dan perusahaan tambang batubara menyatakan dampak krisis itu sudah terasa sejak beberapa bulan lalu. Harga ketiga komoditas yang merupakan tulang punggung ekspor Indonesia itu terus menurun di pasar internasional.

Penurunan harga yang paling dirasakan dampaknya oleh masyarakat adalah penurunan harga batubara. Harga di pasar internasional untuk kualitas 6.322 kilokalori per kilogram, yang pada Maret lalu mencapai 112 dollar AS per ton, kini hanya 84 dollar AS per ton. Harga saham perusahaan tambang, yang didominasi batubara, juga anjlok sekitar 25,03 persen dibandingkan awal tahun.

Di Provinsi Jambi, ekspor batubara Jambi yang selama ini hanya mengandalkan tujuan China dan India mengalami penurunan hingga 75 persen akibat anjloknya harga batubara dunia. Sejumlah kalangan usaha menyetop sementara aktivitas tambang batubara sambil berharap harga kembali normal.

Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Provinsi Jambi, volume ekspor saat ini diperkirakan di bawah 100.000 ton per bulan, atau turun drastis dibandingkan tahun lalu yang masih 400.000 ton per bulan. ”Pertambangan batubara Jambi sedang lesu,” ujar Mirza, Direktur Eksekutif APBI Provinsi Jambi, di Jambi.

Kepala Kantor APBI Nur Hadi mengatakan, di Jambi ada sekitar 150 izin eksploitasi batubara, tetapi tidak sampai 10 usaha yang aktif beroperasi. Selain mengalami kekurangan modal investasi, sebagian pengusaha memilih berhenti beroperasi untuk menunggu kondisi harga batubara dunia membaik.

”Untuk sementara, pengusaha batubara hanya melakukan penambangan untuk menyelesaikan kontrak-kontrak lama, tetapi menyetop atau menunda pembuatan kontrak baru dengan importir sampai harga dunia membaik,” ujar Nur Hadi.

Di Sumatera Selatan, para sopir angkutan batubara juga mengeluhkan sepinya pengguna jasa karena sejumlah perusahaan tambang batubara swasta di Kabupaten Lahat, Sumsel, mengurangi produksinya. Ketua Forum Transportasi Batubara Sumsel Tirta Jaya Wiharman mengatakan, setidaknya 500 sopir angkutan batubara di Lahat sudah beralih ke pengangkutan galian C sejak sebulan terakhir. ”Pendapatan kami jelas turun drastis karena hanya mengantar galian C,” ucapnya.

Sementara itu, di Kalimantan Selatan, kelesuan tambang batubara menjadikan sejumlah perusahaan mengurangi produksi. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Kalsel Heryozani Dharma mengatakan, krisis yang terjadi di Eropa berimbas ke Asia dan Amerika. Banyak industri di sana yang mengalami penurunan produksi sehingga kebutuhan batubaranya berkurang.

Data Distamben Kalsel memperlihatkan, produksi batubara tahun 2012 mencapai 61,34 juta ton. Jumlah ini separuh dari angka produksi tahun 2011 yang mencapai 138,78 juta ton. Dari angka produksi 2011, yang terjual (termasuk ekspor) mencapai 123,84 juta ton.

Direktur APBI Supriyatna Suhala di Jakarta menyatakan, harga komoditas batubara di pasar internasional sedang anjlok sejak beberapa bulan terakhir. Penurunan harga itu disebabkan China, yang merupakan negara tujuan utama ekspor batubara, mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Penyebab lain adalah terjadi kelebihan produksi batubara, terutama dari Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, dan Mongolia.

Karet

Komoditas karet juga terkena dampak krisis ekonomi. Di Sumatera Selatan, pendapatan petani karet mengalami penurunan hingga separuh dibandingkan pertengahan tahun lalu. Pertengahan 2011, harga karet di tingkat petani Sumsel Rp 13.000-Rp 22.000 per kilogram tergantung kualitasnya. Namun, kini, harganya anjlok hingga sekitar Rp 7.000 per kilogram.

Para buruh sadap kebun karet mengaku hasil dari menyadap getah karet tak memadai lagi untuk kebutuhan sehari-hari. ”Pendapatan saya sekarang ini sekitar Rp 500.000 sebulan, beda sekali dengan tahun lalu sekitar Rp 1 juta sebulan. Utang menumpuk untuk makan sehari-hari,” kata Amriyadi (63), buruh sadap di Kabupaten Musi Banyuasin.

Harga karet di Provinsi Jambi terus melemah bersamaan dengan kondisi pasar internasional. Tidak hanya itu, hasil panen yang menurun sepanjang musim kemarau ini membuat petani karet semakin lesu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com