Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarif Listrik Tak Perlu Naik, Asal...

Kompas.com - 13/09/2012, 22:05 WIB
Didik Purwanto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15 persen di tahun depan seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu bisa dilakukan asal pemerintah bisa mengelola sumber daya energi secara baik.

Pengamat energi Kurtubi menjelaskan selama ini pemerintah memiliki kuasa penuh terhadap segala sumber energi yang ada di bumi tanah air. Masalah yang terjadi adalah pemerintah justru membiarkan pengelolaan sumber energi itu terlantar.

"Pemerintah tidak benar dalam mengelola energi primer yang selama ini menjadi bahan baku listrik," kata Kurtubi saat dialog publik Tolak Kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Kamis (13/9/2012).

Energi primer yang dimaksud Kurtubi adalah Indonesia saat ini memiliki sumber daya alam seperti batubara, gas alam cair, air hingga panas bumi yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku sumber listrik.

Tapi, pemerintah justru malah menjual sumber energi primer tersebut ke pihak asing. Parahnya lagi, sumber energi primer itu dijual dengan harga murah.

"Sementara kita sendiri justru memakai bahan bakar minyak (BBM). Padahal, harga pokok produksi (HPP) listrik dari BBM sendiri sudah tinggi. Itu yang menyebabkan subsidi membengkak. Itu salahnya pemerintah," katanya.

Padahal, dalam hitungan Kurtubi, jika pemerintah mau memakai sumber energi batubara, maka HPP listrik akan menjadi sebesar Rp 500-600/kWh.

Sementara harga jual listrik kepada masyarakat saat ini sebesar Rp 700/kWh. Dengan harga itu saja, PLN sudah bisa untung dan negara tidak perlu mensubsidi.

Begitu juga bila pemerintah mau menggunakan gas sebagai bahan baku listrik. Harga pokok produksi listrik hanya sekitar Rp 400-500/kWh. Dengan harga jual listrik yang sama sekitar Rp 700/kWh, PLN juga sudah bisa untung.

"Masalahnya kembali lagi, pemerintah memang payah mengelola sumber energi primer. Pemerintah lebih suka memakai BBM sebagai bahan baku listrik, padahal HPP listriknya mencapai Rp 3.500 per kWh," jelasnya.

Di sisi lain, pemerintah justru banyak mengekspor misalnya gas alam cair atau batubara ke luar negeri, apalagi harga yang dipatok juga lumayan murah.

Padahal, kata Kurtubi, jika mau mengacu ke Undang-Undang No 22/2011 tentang minyak dan gas bumi yang sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, maka pemerintah dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang sendiri.

"Jika tahu kebutuhan energi kita sangat besar, khususnya energi batubara dan gas alam cair, lantas mengapa pemerintah justru cuek saja membiarkan sumber energi itu dijual ke asing dengan harga murah. Kalau mau mengacu ke undang-undang, seharusnya kapal yang mengangkut sumber energi itu harus balik ke Indonesia," jelasnya.

Harapannya, sumber energi itu bisa digunakan kembali oleh PLN sebagai sumber bahan baku listrik yang murah. Bila listrik murah dan PLN sudah untung, maka subsidi juga sudah tidak diperlukan lagi. "Sayangnya, itu tidak dilakukan pemerintah," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kadin Proyeksi Perputaran Uang Saat Ramadhan-Lebaran 2024 Mencapai Rp 157,3 Triliun

Kadin Proyeksi Perputaran Uang Saat Ramadhan-Lebaran 2024 Mencapai Rp 157,3 Triliun

Whats New
Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Whats New
Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Whats New
Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Spend Smart
Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Whats New
Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Whats New
Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan 'Open Side Container'

Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan "Open Side Container"

Whats New
Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Whats New
Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Whats New
Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Whats New
Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Whats New
Kemenag Pastikan Guru PAI Dapat THR, Ini Infonya

Kemenag Pastikan Guru PAI Dapat THR, Ini Infonya

Whats New
Harga Emas Antam Meroket Rp 27.000 Per Gram Jelang Libur Paskah

Harga Emas Antam Meroket Rp 27.000 Per Gram Jelang Libur Paskah

Whats New
Kapan Seleksi CPNS 2024 Dibuka?

Kapan Seleksi CPNS 2024 Dibuka?

Whats New
Info Pangan 29 Maret 2024, Harga Beras dan Daging Ayam Turun

Info Pangan 29 Maret 2024, Harga Beras dan Daging Ayam Turun

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com