Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK: Piutang Bank Plat Merah Tak Masuk Tagihan Negara

Kompas.com - 25/09/2012, 15:13 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -  Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas pengujian UU No 49 Tahun 1960 Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Dengan demikian, Mahkamah menyatakan bank BUMN tidak perlu lagi menyerahkan piutang atau kredit macet kepada PUPN.

"Mahkamah Memutuskan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, saat membacakan amar putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (25/9/2012).

Mahkamah berpendapat, frasa 'atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara' dalam Pasal 8 UU PUPN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi M. Akil Mochtar mengungkapkan, terdapat dua jenis piutang negara sesuai UU PUPN yaitu piutang negara dan piutang badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Oleh sebab itu, piutang bank-bank BUMN baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara.

"Dalam pengertian ini, piutang-piutang bank BUMN yang ada dan jumlahnya telah pasti dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan melakukan restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Di sisi lain, kenyataannya, debitur pada bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen bank yang bersangkutan," papar Akil.

Berkaca pada Pasal 1 angka 6 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, piutang negara hanya tagihan sejumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hal itu tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara, termasuk dalam hal ini piutang bank BUMN.

Hal tersebut, menurut Akil, sejalan dengan pendapat ahli pemerintah, Mariam Darus yang berpendapat dalam Pasal 1 UU No 1 Tahun 2004 telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yang intinya piutang badan atau BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara.

Menurut ahli lainnya, lanjut Akil, Darminto Hartono piutang BUMN yang dalam hal ini Bank Negara Indonesia (BNI) adalah piutang perseroan terbatas, sehingga mekanisme penyelesaian dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk hair cut, konversi, maupun rescheduling.

Mahkamah mengungkapkan, masih terdapat dua aturan yang berlaku dalam penyelesaian piutang Bank BUMN yakni UU PUPN dan UU Perbendaharaan Negara jo UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Hal ini pulalah yang menurut Akil menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur bank BUMN dan bank swasta, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

"Karena itu, piutang bank BUMN setelah berlakunya UU No 1 Tahun 2004, UU BUMN, dan serta UU Perseroan Terbatas bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat," tambahnya.

Kuasa hukum pemohon, Gradios Nyoman Tio Rae menyambut positif putusan MK ini.

"Kami mengucapkan selamat terhadap debitur-debitur bank BUMN atas dikabulkannya sebagian permohonan kami. Dengan adanya putusan MK ini, maka telah ada kepastian hukum dan mereka akan mendapatkan perlakuan yang adil. Putusan ini secara jelas memberi arahan kepada bank BUMN dalam melaksanakan tugasnya secara profesiomal berdasarkan RUPS," kata Nyoman usai persidangan.

Ia sendiri mencatat, sejak tahun 2010 hingga 2012 besaran kredit macet mencapai sekitar Rp60 triliun.

"Khusus kredit macet di BNI sekitar Rp25 triliun, sisanya ada pada beberapa bank lain. Kalau 50 persen saja dari Rp25 triliun yang mampu dibayar oleh debitur, sangat berarti bagi BNI untuk masa mendatang," katanya.

Permohonan uji undang-undang ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal itu menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sebab, sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah) belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN.

Jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi. Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com