Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beras Cerdas dari Singkong

Kompas.com - 02/01/2013, 02:35 WIB

Walau di sekitar rumahnya banyak tertanam singkong, Jatima (46) alias B Saiful, warga Dusun Sembilangan, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengaku belum pernah merasakan nikmatnya makan nasi dari beras cerdas. Padahal, bahan baku beras cerdas berasal dari singkong, tetapi rasanya menyerupai nasi dari olahan padi.

Jatima dan 50 orang lebih warga Desa Panduman, pekan lalu, bersama Kepala Desa Panduman Hj Murtini, Rektor Universitas Jember Moh Hasan, dosen Fakultas Teknologi Pertanian, Ahmad Subagio, serta Kepala Bidang Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jawa Timur Apriyanto mengakui rasa nasi dari beras cerdas sangat enak. Warga yang merasakan nasi itu pun tak mengira, bahan baku beras tersebut dari singkong.

Sebagian besar warga beranggapan beras cerdas seperti nasi tiwul atau rasa gaplek. Namun, ternyata rasanya lebih enak daripada nasi dari padi beras untuk keluarga miskin (raskin). ”Jauh bedanya jika dibandingkan dengan beras pembagian. Rasa nasi dari beras cerdas ini tak kalah dari rasa nasi beras pulen,” kata Jatima.

Saat itu, mereka merasakan menu nasi cerdas dengan berbagai lauk yang disediakan di Balai Desa Panduman, seperti ikan asin goreng, orem-orem, sambal terasi, kerupuk, rempeyek, dan pepes tongkol. ”Lebih enak lagi kalau nasi cerdas dibuat nasi goreng dan diberi sosis. Lebih nikmat daripada nasi goreng dengan bahan baku beras,” kata Murtini. Kepala Desa Panduman itu pun tidak segan-segan mengundang warganya belajar memasak beras cerdas dengan aneka resep.

Teknologi cerdas

Beras cerdas adalah beras restrukturisasi dari beragam bahan baku, alami, dan asli Indonesia. Beras ini diproses dengan teknologi yang cerdas sehingga lebih bergizi dan lezat. Ahmad Subagio mengatakan, beras cerdas memiliki beberapa konsep. Pertama, cerdas dalam bahan baku karena beras itu dikonstruksikan dari tepung lokal modified cassava flour (mocaf) atau tepung singkong. Bahan baku juga bisa disesuaikan dengan kekayaan pangan daerah.

Kedua, cerdas dalam proses karena beras itu diproses dengan teknologi yang bertingkat dari rendah hingga tinggi. Jadi, bisa diproduksi dengan peralatan yang bisa dibuat sendiri oleh warga. Ketiga, cerdas dalam cara masak karena dapat dimasak dengan cara sederhana, seperti kebiasaan orang Indonesia dalam mengolah beras. Keempat, cerdas dalam pemanfaatan bagi kesehatan. Bahan baku yang cerdas itu bisa disesuaikan untuk target spesifik kesehatan tertentu, seperti mengatasi malanutrisi.

”Beras cerdas yang dimasak secara tradisional menghasilkan nasi dengan rasa, aroma, warna, dan ketampakan yang lebih disukai daripada yang dimasak dengan rice cooker,” kata Ahmad Subagio.

Beras cerdas ditemukan tim peneliti di Universitas Jember saat mengolah mocaf tahun 2004. Penelitian lanjutan membuktikan mocaf bisa digunakan sebagai bahan sumber pangan pokok, yaitu beras cerdas. Caranya dengan mencampurkan mocaf, jagung, protein susu, dan bahan tambahan untuk meningkatkan kandungan protein dan sifat fungsionalnya. Saat ini, bekerja sama dengan BKP pusat, Kementerian Pertanian dan BKP Jawa Timur mendirikan empat pabrik model, masing-masing berkapasitas dua ton per hari di Kabupaten Jember, Ponorogo, dan Blitar, Jawa Timur.

Beras cerdas diperkenalkan kepada warga di Jawa Timur melalui program peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan sasaran keluarga miskin. Di Kecamatan Jelbuk dan Sumber Baru, Jember, setiap keluarga sasaran menerima bantuan BKP sebanyak 10 kilogram beras cerdas. Ini bukan pengganti raskin.

Mewakili warganya, Murtini mengaku keberatan jika harga beras cerdas Rp 7.000 per kilogram (kg). ”Apabila harga beras cerdas Rp 5.000/kg, mungkin rakyat kami banyak yang membeli,” kata dia lagi.

Ahmad Subagio mengakui, harga beras cerdas bagi warga pedesaan memang masih berat. Masalahnya pada bahan baku. Tepung singkong sekarang mencapai Rp 4.000/kg. Setelah diproses, harga pokok beras cerdas menjadi Rp 6.500/kg. ”Harga singkong sudah tinggi karena pemerintah tak mendorong masyarakat menanam singkong. Apalagi kini Indonesia mengimpor singkong pula,” keluhnya. (syamsul hadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com