Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meringkas Rupiah

Kompas.com - 29/01/2013, 10:10 WIB

KOMPAS.com - Anda tentu sudah jamak menemukan harga-harga yang diringkas pada menu minuman-makanan di kafe atau restoran. Harga satu porsi daging panggang Rp 95.000, misalnya, ditulis Rp 95, atau harga secangkir kopi Rp 25.000 ditulis Rp 25.

Dan tahukah Anda, ternyata pedagang dan pembeli di pasar-pasar tradisional hewan di Jawa Tengah sudah jauh hari meringkas rupiah. Jika pedagang menyebut harga seekor kambing Rp 2.000, itu maksudnya adalah Rp 2 juta. Sebaliknya, jika calon pembeli menawar Rp 1.500, itu artinya ia mengajukan penawaran Rp 1.500.000.

Dalam daftar menu kafe, rupiah ditulis ringkas. Di pasar hewan, rupiah diucapkan ringkas. Penulisan ataupun pengucapan rupiah secara ringkas tersebut dalam beberapa hal sejatinya adalah bentuk penyederhanaan digit rupiah yang hari-hari ini diserukan oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu) dan Bank Indonesia (BI) sebagai redenominasi.

Konsep redenominasi yang digagas Kemkeu dan BI adalah menghapuskan tiga digit terakhir rupiah tanpa menurunkan nilai tukar mata uang yang digunakan. Latar belakangnya adalah digit rupiah yang sudah terlalu banyak dipandang tidak efisien. Apalagi, volume rupiah akan semakin berlipat seiring tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat.

Dari sisi nilai tukar terhadap mata uang asing seperti dollar AS, rupiah adalah yang terendah di Asia Tenggara setelah dong dari Vietnam. Padahal, produk domestik bruto (PDB) Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Artinya, rupiah dinilai terlalu rendah dibandingkan skala ekonomi Indonesia.

Guna mencapai tujuan, redenominasi dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah persiapan yang dimulai tahun ini. Agenda pokoknya, antara lain, adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang Redenominasi, konsultasi publik, rencana pencetakan uang dan distribusinya, serta penyesuaian infrastruktur dan teknologi informasi sistem pembayaran dan akuntansi.

Tahap kedua adalah masa transisi. Pada masa ini, BI akan mulai mengedarkan pecahan rupiah baru ke pasar dan berangsur-angsur menarik pecahan rupiah yang lama dari peredaran. Jadi, akan ada dua pecahan rupiah yang beredar pada masa ini, yakni rupiah baru dan lama. Pecahan baru adalah pecahan yang sudah dihilangkan tiga digit terakhirnya. Semisal saat ini pecahan Rp 100.000 nantinya ada pecahan baru Rp 100.

Nilai antara pecahan lama dan pecahan baru yang menggantikan adalah sama. Contoh, nilai pecahan lama Rp 100.000 sama dengan nilai pecahan baru Rp 100. Jadi, jika pecahan Rp 100.000 bisa digunakan untuk membeli dua gelas jus mangga, maka Rp 100 pecahan baru juga bisa membeli barang sama.

Pada masa transisi ini, pedagang diwajibkan mencantumkan dua harga sekaligus, yakni harga versi pecahan lama dan harga versi pecahan baru. Ini untuk menghindari pembulatan ke atas secara berlebihan.

Tahap ketiga adalah saat pecahan rupiah baru disebut menjadi rupiah. Ini mengandaikan seluruh uang beredar di pasar adalah pecahan baru. Dengan demikian, tidak ada lagi rupiah baru dan lama, tetapi rupiah hasil redenominasi. Seluruh proses di luar tahap persiapan diperkirakan memerlukan waktu enam tahun.

Risiko yang berpotensi timbul selama proses redenominasi setidaknya adalah pembulatan harga ke atas yang bisa memicu inflasi, penolakan karena ketidakpahaman, dan perselisihan perhitungan. Antisipasi yang jitu bakal membawa kesuksesan program maupun ekonomi.

Jika terjadi hal sebaliknya, berarti mohon maaf, BI dan Kemkeu kalah canggih daripada pasar hewan. (FX Laksana Agung Saputra)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com