Jakarta, Kompas -
Demikian dikemukakan pakar properti, Panangian Simanungkalit, di Jakarta, Selasa (5/3), menyikapi penyusunan Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang merupakan hak inisiatif DPR.
Dalam RUU Tapera disebutkan, peserta Tapera adalah pekerja, sedangkan pemberi kerja belum dimasukkan sebagai peserta. Adapun iuran peserta Tapera ditetapkan 5 persen dari penghasilan setiap bulan, dengan besar penghasilan sekurang-kurangnya setara upah minimum provinsi/kabupaten/kota.
Menurut Panangian, Tapera memerlukan keikutsertaan perusahaan dan pekerja berupa kontribusi iuran. Model serupa telah diterapkan di sejumlah negara tetangga, yakni central provident fund atau housing provident fund, seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, dan China.
”Kontribusi perusahaan untuk mendanai tabungan perumahan bagi karyawan merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap karyawan sebagai aset utamanya,” ujar Panangian.
Sebelumnya, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mengemukakan, iuran Tapera 5 persen itu telah diusulkan untuk ditanggung bersama antara perusahaan dan karyawan. ”Komposisi akan dibahas,” ujarnya.
Kekurangan rumah di Indonesia saat ini sudah menembus 15 juta unit. Sementara laju kekurangan rumah terus bertambah 700.000 unit per tahun.
Menurut Panangian, kesenjangan penyediaan rumah rakyat terus berlangsung justru di saat memasuki ledakan properti yang ditandai dengan geliat properti hampir di seluruh sektor, baik hotel, apartemen, perkantoran, kawasan industri, pusat perbelanjaan, dan rumah tapak.
Panangian meminta Rancangan Undang-Undang Tapera disosialisasikan, melibatkan para pemangku kepentingan, baik pelaku usaha, asosiasi pekerja, maupun praktisi dan akademisi, Termasuk, bagaimana kedudukan Tapera terhadap skim Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) yang juga memberikan skim bantuan perumahan untuk pegawai swasta dan pegawai negeri meskipun belum optimal.(LKT)