Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Insentif BBM Terlalu Besar

Kompas.com - 29/04/2013, 09:12 WIB

BOGOR, KOMPAS.com - Selama ini pemerintah cenderung memberikan insentif yang besar untuk bahan bakar minyak daripada untuk riset menemukan inovasi pengolahan energi terbarukan. Alokasi dana penelitian Indonesia hanya sekitar 0,1 persen dari produk domestik bruto.

”Saya hampir putus asa memperjuangkan riset energi terbarukan. Yang membuat saya bertahan, karena saya masih mencintai Indonesia,” kata Tatang Hernas Soerawidjaja seusai kuliah inaugurasi anggota baru Komisi Ilmu Rekayasa Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sabtu (27/4/2013), di Bogor, Jawa Barat.

Selama 50 tahun, kata Tatang, pemerintah terus-menerus memberikan subsidi bagi ketersediaan bahan bakar minyak (BBM). Padahal, kini ketersediaannya makin terbatas. ”Itu ibaratnya seperti memberi beasiswa sekolah untuk orang uzur. Kini saatnya insentif dialokasikan untuk mendorong penemuan energi terbarukan, bahan bakar nabati misalnya,” tutur Tatang.

Menurut Tatang, alokasi dana penelitian Indonesia kalah dengan Thailand, yaitu 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB), Malaysia 0,6 persen, dan Singapura 3 persen. ”Idealnya, untuk negara berkekayaan alam besar seperti Indonesia, alokasi dana sebaiknya seperti Malaysia yang pada fase-fase awal sudah mulai memadai,” kata Tatang.

Tatang mengatakan, kewajiban pemerintah adalah meningkatkan daya beli masyarakat dan bukan sekadar terus-menerus memberi subsidi. ”Pemerintah seharusnya tidak boleh membiarkan rendahnya daya beli masyarakat. Baiknya, pemerintah meningkatkan penghasilan PNS golongan I dan II, buruh, dan daya beli petani hortikultura,” ujar Tatang yang juga menjabat Lektor Kepala pada Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Bandung.

”Di luar negeri, sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan, mereka berkonsultasi dengan ilmuwan dan melakukan riset. Di sini terbalik, setelah kebijakan baru pemerintah meminta pertimbangan,” ujar Tatang.

Tatang mengatakan, bagi masyarakat dan kaum muda hendaknya berpikir ulang bila hendak berunjuk rasa untuk menolak kenaikan harga BBM. ”Unjuk rasa seperti itu justru menunjukkan mentalitas orang miskin yang ingin terus dibantu melalui subsidi. Jangan mau dininabobokan dalam kemiskinan. Berpikirlah secara logis perihal keterbatasan barang akan menyebabkan tingginya harga. Minyak bumi sudah mulai menipis ketersediaannya,” ucap Tatang.

Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal AIPI Budhi M Suyitno, Ketua Komisi Ilmu Rekayasa AIPI FG Winarno, dan Purwiyatno Hariyadi. ”Selama ini subsidi tidak tepat sasaran, pengusaha pabrik besarlah yang banyak menikmati BBM bersubsidi itu. Yang diatur pemerintah hanya persediaannya, bukan pada permintaannya. Dibutuhkan peta jalan yang jelas untuk mengatasi masalah seperti ini,” ujar Budhi.

Menurut Budhi, pengelolaan BBM dan subsidinya sudah tercemar urusan politik. ”Pemerintah kurang tegas mengurangi subsidi BBM karena ada kepentingan Pemilu 2014,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan dalam Diskusi Panel Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Indonesia, Sabtu, di Jakarta, mengatakan, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar fosil sudah semakin tinggi. Hal tersebut dapat mengarah pada krisis energi.

Untuk mengurangi hal itu, ujar Heriawan, sudah saatnya Indonesia mengembangkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti bioenergi. Untuk mengatasi permasalahan dengan BBM yang semakin berkurang, sektor agrobisnis dan agroindustri dapat berperan dalam pengembangan energi alternatif.(K09/*)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com