Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perekonomian Indonesia Tidak Ditangani dengan Benar

Kompas.com - 16/05/2013, 07:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang konstan terjadi sejak Januari 2012 adalah sebuah sinyal tentang struktur ekonomi yang tidak benar. Ini juga akibat dari penanganan ekonomi yang tidak dilakukan secara benar.

”Para pejabat dan teknokrat ekonomi tidak mengerti tentang perekonomian. Di negara ini, terjadi fenomena orang yang salah di tempat yang salah pula,” demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Mudradjad Kuncoro, Rabu (15/5/2013).

Ia mengomentari laporan Investment Research UBS, bank besar di Swiss, yang menunjukkan bahwa hanya rupiah yang melemah terhadap dollar AS di antara raksasa ASEAN. Kurs ringgit Malaysia, baht Thailand, peso Filipina, dan dollar Singapura menguat. Pergerakan kurs mata uang lima negara ASEAN seragam sejak Januari 2011. Namun, sejak Januari 2012, mendadak kurs rupiah liar sendirian.

Pada Januari 2012, nilai tukar rupiah Rp 9.379,18 per dollar AS dan 15 Mei 2013 menjadi Rp 9.797 per dollar AS. Ini berdasarkan acuan kurs beli Bank Indonesia.

Laporan UBS menunjukkan, pelemahan kurs rupiah disebabkan neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar 24 miliar dollar AS. Thailand, Singapura, Filipina, dan Malaysia mengalami surplus.

Neraca transaksi berjalan memperlihatkan komposisi ekspor-impor, juga arus modal dan arus keluar. Jika ekspor melebihi impor dan arus modal masuk melebihi arus keluar, akan terjadi surplus, begitu juga sebaliknya. Neraca transaksi berjalan yang surplus akan mendorong apresiasi kurs.

Direktur Bank Pembangunan Asia untuk Indonesia Edimon Ginting mengatakan, ada beberapa penyebab defisit neraca transaksi berjalan yang selanjutnya menyebabkan pelemahan kurs. Pertumbuhan ekonomi terjadi akibat investasi. Ini kemudian membutuhkan barang-barang modal impor. Kegiatan ekspor manufaktur Indonesia juga relatif meningkat sehingga membutuhkan bahan baku impor. Ini sinyal positif bagi ekonomi.

Hanya saja, perkembangan impor barang modal dan bahan baku tidak diikuti dengan melejitnya ekspor. Ini karena ekspor Indonesia tetap didominasi komoditas primer yang tidak memiliki nilai tambah tinggi. Hal ini diperburuk lagi dengan peningkatan impor bahan bakar minnyak (BBM). Ini yang menyebabkan terjadi defisit neraca transaksi berjalan.

Hal senada dikatakan ekonom dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi dan Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, Jakarta, A Prasetyantoko. ”Defisit neraca transaksi berjalan merupakan konsekuensi dari beberapa kelemahan, yakni impor BBM yang terlalu besar dan tidak diimbangi ekspor secara umum. Ini artinya terjadi aliran uang lebih besar keluar daripada yang masuk,” tuturnya.

Tak berubah

Mudradjad menambahkan, keunikan Indonesia dari tetangga ASEAN lainnya adalah karena penanganan ekonomi yang tidak pernah benar. Sebagai contoh, perekonomian Indonesia dari dulu tetap ditopang konsumsi swasta dengan porsi sumbangan lebih dari 55 persen terhadap produksi domestik bruto. Ini artinya perekonomian mayoritas ditopang konsumsi, yang didorong kredit perbankan yang juga menaikkan inflasi.

Adalah lebih baik jika perekonomian didorong porsi lebih besar sektor investasi. Dengan porsi investasi lebih besar diharapkan juga terjadi proses pendalaman struktur ekonomi.

”Akan tetapi, pendalaman struktur ekonomi ini tidak pernah terjadi secara signifikan. Mayoritas ekspor Indonesia juga didominasi komoditas ekspor primer. Ini sejak lama juga tidak ditangani dengan benar lewat kebijakan industrialisasi,” ujarnya.

Di sisi lain, arus dana masuk sifatnya lebih banyak jangka pendek, bukan jangka panjang. Ini rawan karena dana itu mudah lari. ”Jadi, fundamental ekonomi kita tak baik.” (MON)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com