Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Depan Perkebunan

Kompas.com - 10/06/2013, 10:39 WIB

KOMPAS.com - Dampak perubahan iklim sepertinya tidak bisa dihindari lagi. Beberapa komoditas perkebunan mulai terkena dampak. Ada inisiatif baru untuk mengubah komoditas yang lebih sesuai dengan iklim saat ini. Di samping itu, beberapa komoditas yang tak lagi memiliki pasar yang bagus diganti dengan komoditas yang memiliki permintaan tinggi.

Sebagai contoh perkebunan di Jawa Barat yang didominasi komoditas teh. Komoditas ini peka dengan perubahan suhu. Di beberapa tempat tanaman ini tak lagi menghasilkan daun dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan harapan. Penurunan produktivitas di sejumlah lahan terjadi karena kondisi agroklimat yang berubah berupa suhu dan curah hujan.

Asumsi yang digunakan adalah kenaikan 1 derajat celsius akan menurunkan produktivitas tanaman teh sampai 5 persen. Suhu ideal penanaman teh adalah 25 derajat celsius. Di beberapa tempat suhunya telah meningkat. Produktivitas tanaman teh ada yang di bawah 2.000 kg teh kering per hektar per tahun. Sangat rendah karena di beberapa tempat ada lahan dengan produktivitas di atas 3.000 kg teh kering per hektar.

PT Perkebunan Nusantara VIII mulai konversi lahan teh untuk tanaman buah-buahan. Saat ini baru dalam tahap uji coba. Nantinya lahan untuk tanaman seperti durian, manggis, dan pepaya, mencapai 10.000 hektar dari 26.000 hektar lahan yang ada. Langkah ini strategis pada saat permintaan buah-buahan sangat tinggi.

Potensi pasar buah domestik besar. Nilai pasar buah domestik Rp 37,5 triliun. Angka ini dari asumsi 20 persen penduduk mengonsumsi 75 kg buah per kapita per tahun. Maka didapat kebutuhan 3,75 juta ton buah. Saat ini konsumsi buah dan sayur penduduk Indonesia sekitar 60 kg per kapita per tahun.

Sebenarnya pernah ada konversi pada beberapa komoditas lain karena permintaan yang rendah. Meski tidak ada data pengurangan itu, tetapi kita bisa melihat makin sulitnya kita mendapatkan lahan kina (untuk obat) dan juga gutta percha (untuk isolator kabel bawah laut). Dua komoditas ini pada masa jayanya mempunyai pasar yang besar di dunia.

Langkah konversi saat ini sepertinya langkah yang tepat karena mempertahankan lahan yang ada dengan komoditas yang tidak ekonomis sangatlah membuang-buang peluang bisnis. Akan tetapi, komoditas lama juga perlu dipertahankan. Pertama adalah soal kekayaan hayati. Banyak komoditas yang makin langka dan hilang karena tidak dirawat. Kedua soal sejarah. Perkebunan-perkebunan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang terkait dengan pembukaan kota.

Untuk konversi ini maka sepertinya kita butuh ahli yang menguasai komoditas. Penguasaan pengetahuan tentang komoditas ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan mendapat ”pepesan kosong” pada saat sebagian besar lahan telah dikonversi. Kecermatan memilih komoditas dan juga penanganan komoditas menjadi penting. Repotnya, kita kian sulit mendapat ahli karena minat studi di pertanian juga kian kecil.

Masalah lainnya adalah isu penguasaan lahan oleh orang-orang yang tidak berhak makin kuat. Tanpa ada jaminan keamanan maka usaha perkebunan apa pun akan merugi. Di sisi lain isu penguasaan lahan akan memperkecil kepastian usaha dalam investasi tanaman hortikultura.

Konversi lahan di sejumlah perkebunan bisa menjadi pelajaran untuk pengusaha perkebunan yang lagi menikmati harga yang baik seperti sawit dan karet. Tekanan atas komoditas yang sedang diusahakan akan muncul saat ada komoditas pengganti yang lebih murah atau ada komoditas lain yang laku di pasar.

Di sisi lain dampak perubahan iklim ke perkebunan perlu dicermati karena bisa menjadi faktor dalam perubahan strategi bisnis. Kunci dari semuanya adalah setiap saat harus berinovasi, baik karena perubahan alam maupun karena perubahan pasar.(ANDREAS MARYOTO)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com