JAKARTA, KOMPAS.com — Kontrak rupiah di non-delivery forward (NDF) pagi tadi sempat menembus level Rp 10.000 per dollar AS. Pemerintah harus waspada atas depresiasi nilai tukar rupiah tersebut.
Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diwaspadai pemerintah atas depresiasi rupiah ini. "Pemerintah harus waspada soal inflasi, defisit neraca perdagangan, dan ancaman ke investasi," kata Enny selepas konferensi pers di Jakarta, Senin (10/6/2013).
Enny menambahkan, depresiasi rupiah ini membuat penetrasi impor semakin tinggi karena barang-barang impor menjadi lebih murah. Namun, pemerintah juga perlu mewaspadai hal itu yang tentu saja mengancam eksportir dalam negeri. Imbasnya, neraca perdagangan akan kembali defisit.
Di sisi lain, inflasi di dalam negeri akan melonjak karena depresiasi nilai tukar tersebut. Sementara produksi dalam negeri yang tertekan akibat membanjirnya produk-produk impor justru menyebabkan beragam investasi yang akan muncul di Indonesia menjadi batal, yang tentu saja akan menekan investasi.
"Jika inflasi melonjak hingga neraca perdagangan defisit, hal tersebut akan sulit mencapai target pertumbuhan perekonomian sebesar 6,3 persen di tahun ini," tambahnya.
Enny memperkirakan pertumbuhan perekonomian Indonesia di tahun ini sebesar 6,3 persen-6,7 persen. Namun, Enny meragukan target tersebut akan tercapai dengan target asumsi makro yang terlewat target. Sebenarnya, bila fundamental Indonesia masih bagus saat ini, investor tidak akan jera berinvestasi di dalam negeri.
"Rupiah sebenarnya tidak ada masalah meski depresiasi asal daya saing Indonesia bagus. Itu juga mampu meningkatkan peluang ekspor," ujarnya. Seperti diberitakan, mengutip situs Bloomberg, pada pukul 09.55 WIB, kontrak rupiah (NDF) untuk pengantaran satu bulan ke depan melemah 1,4 persen menjadi 10.260 per dollar AS.
Posisi ini merupakan level terendah sejak 3 September 2009. Sementara itu, posisi rupiah di pasar spot melemah 0,1 persen menjadi 9.810. Spread antara pasar NDF dan pasar spot kian meningkat menjadi 4,4 persen, terbesar sejak Oktober 2011 lalu.
Langkah investor asing dalam menarik dananya tersebut dipicu oleh kecemasan akan minimnya ketersediaan dollar AS di pasar lokal. Data Kementerian Keuangan dan Bursa Efek Indonesia menunjukkan, investor asing sudah menarik dana senilai 812 juta dollar AS dari pasar obligasi berdenominasi rupiah dan pasar saham di sepanjang Juni.
Mereka berspekulasi The Federal Reserve akan memangkas nilai program pembelian kembali obligasi yang nantinya akan berdampak pada aliran dana ke emerging markets, termasuk Indonesia. Sentimen lainnya adalah Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan yang sudah berlangsung selama enam kuartal berturut-turut.
"Fundamental rupiah terlihat sangat lemah. Jika melihat besarnya defisit neraca perdagangan, Indonesia membutuhkan arus dana asing senilai 1 miliar dollar AS per bulannya untuk menahan laju pelemahan rupiah," jelas Khoon Goh, senior strategist Australia & New Zealand Banking Group Ltd di Singapura.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.