Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meredam Gejolak Rupiah

Kompas.com - 14/06/2013, 10:23 WIB

Anwar Nasution

Penurunan nilai tukar rupiah secara drastis sejak 7 Juni 2013 terjadi karena aliran keluar modal jangka pendek dari Indonesia. Nilai tukar rupiah merosot karena pemodal asing mengurangi kepemilikan atas surat-surat berharga yang diperjualbelikan di pasar uang ataupun modal Indonesia yang masih dangkal dan sempit.

Tadinya, pemasukan modal asing jangka pendek ke Indonesia dirangsang besarnya disparitas suku bunga antara Indonesia dan negara maju maupun oleh perubahan kurs devisa. Disparitas suku bunga yang tinggi terjadi karena bank sentral di AS, Eropa, dan Jepang menjalankan quantitative easing (QE) untuk menangani krisis perekonomiannya.

Arus balik aliran modal terjadi karena bank sentral AS mengumumkan mengurangi QE karena telah ada tanda-tanda pemulihan ekonominya. Kebijakan ini akan menurunkan harga efek-efek di negara itu dan meningkatkan suku bunga sehingga memberikan balas jasa lebih tinggi pada investasi di pasar uang dan modalnya.

Pasar uang dan modal Indonesia masih dangkal dan sempit. Surat berharga yang diperjualbelikan terbatas jenisnya, terutama berupa SUN, SBI, dan efek yang diperjualbelikan di Bursa Efek Jakarta. SUN yang terbesar di antara ketiga instrumen pasar dan dikeluarkan pada 1998 untuk memenuhi kembali kecukupan modal bank yang kolaps akibat krisis 1997 seraya membersihkan bukunya dari kredit bermasalah.

Nilai surat berharga itu pun masih terbatas karena dunia usaha Indonesia masih tetap mengandalkan kredit bank untuk pembelanjaan usahanya dan masih sedikit yang memobilisasi modal melalui penjualan saham atau obligasi.

Teori paritas tingkat suku bunga

Teori sederhana tentang paritas tingkat suku bunga sangat bermanfaat untuk memahami aliran modal jangka pendek antarnegara dan gejolak rupiah. Menurut teori ini, tingkat suku bunga di dalam negeri sama dengan tingkat bunga di pasar dunia ditambah harapan perubahan kurs devisa. Di sini diasumsikan surat-surat berharga yang dikeluarkan di dalam negeri dapat diperjualbelikan di pasar dunia dan tak ada hambatan apa pun pada lalu lintas modal.

Pada tingkat kurs devisa tertentu, modal akan mengalir dari negara dengan tingkat bunga rendah ke negara dengan tingkat bunga tinggi. Melalui aliran modal itu, pemilik modal ingin cari keuntungan dari perbedaan tingkat suku bunga. Perbedaan tingkat suku bunga sekaligus mencerminkan harapan akan perubahan kurs devisa. Dengan demikian, pemilik modal juga bisa dapat keuntungan atau kerugian dari perubahan kurs devisa.

Sejak krisis keuangan global 2008- 2009, semua negara maju menerapkan QE, yakni kebijakan moneter yang memompakan likuiditas untuk menurunkan tingkat bunga nominal hampir mendekati nol. QE dimulai bank sentral Jepang pada 1990-an, tapi gagal menggerakkan ekonomi karena tak disertai deregulasi di sektor riil untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonominya.

AS menggunakannya untuk mengatasi krisis keuangan global 2008-2009, diikuti bank sentral Eropa untuk mengatasi krisis ekonomi Uni Eropa. Pemerintahan PM Abe di Jepang, yang kini berkuasa, menjalankan kembali QE seraya melakukan ekspansi fiskal dan reformasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomiannya.

QE memompakan likuiditas melalui pembelian bank sentral atas segala jenis surat berharga baik milik negara maupun lembaga negara serta saham dan surat utang swasta yang memiliki peringkat tinggi. Penurunan bunga diharapkan merangsang kembali kegiatan ekonomi melalui peningkatan investasi dan konsumsi swasta, penghentian proses deflasi, dan pengurangan beban pembayaran utang oleh pemerintah di negara itu.

Rendahnya suku bunga akibat QE di negara maju telah meningkatkan perbedaan tingkat suku bunga mereka dengan negara berkembang seperti Indonesia. Dewasa ini, tingkat suku bunga acuan BI 5,75 persen dibandingkan 0,25 persen di negara-negara maju. Pemodal asing menguasai sekitar sepertiga volume SUN, SBI, dan efek yang diperdagangkan di bursa.

Pemasukan modal jangka pendek merupakan sumber likuiditas penting bagi pasar uang dan modal yang sempit. Pemasukan modal asing untuk membeli saham, SUN, serta SBI telah meningkatkan harga surat-surat berharga ini dan menurunkan tingkat suku bunga. Pada gilirannya, kenaikan harga sekuritas meningkatkan modal dan nilai kekayaan pemegangnya, sekaligus menurunkan rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan.

Sebaliknya, aliran modal ke luar negeri menurunkan harga surat-surat berharga sehingga menyebabkan malapetaka bagi pemegangnya. Kecukupan modal bank dan NPL jadi terganggu oleh penurunan harga efek-efek ini. Kolapsnya industri reksa dana yang terjadi berkali-kali sejak 1980-an berkaitan dengan gejolak harga efek akibat aliran modal asing jangka pendek.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com