KOMPAS.com -
Persoalan kemacetan di Pelabuhan Tanjung Priok tidak selesai juga. Pelabuhan terbesar di Indonesia ini berulang kali didera persoalan kemacetan. Tidak hanya kemacetan di jalan raya, tetapi juga kemacetan di pelabuhan.

Sejak pekan lalu, Pelabuhan Tanjung Priok yang menampung 65 persen kegiatan ekspor impor mengalami kemacetan akut. Kali ini kemacetan pada arus peti kemas. Ribuan peti kemas menumpuk, sedangkan ribuan lainnya terus berdatangan. Dampak dari pertumbuhan ekonomi cukup tinggi.

Pengusaha melalui Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) berteriak. Mereka mengeluh karena untuk mengeluarkan barang memakan waktu lama. Saat ini dwelling time (waktu yang dibutuhkan barang untuk keluar dari pelabuhan sejak dibongkar dari kapal) mencapai sembilan hari. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar hanya empat hari. Menko Perekonomian Hatta Rajasa menargetkan 6,4 hari. Kenyataannya saat ini bisa mencapai 17 hari.

Para pemangku kepentingan saling tuding. Asosiasi Logistik Indonesia dan Kadin menuduh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) selaku operator terminal di pelabuhan tidak fokus bekerja.

Dikatakan, kemacetan di Tanjung Priok akan menguntungkan Pelindo karena biaya penimbunan peti kemas di pelabuhan semakin lama dan bertarif progresif. Kejadian ini bisa dihindari jika Pelindo mengantisipasi. Sebab, arus barang impor selalu meningkat menjelang puasa dan Lebaran. Jika diantisipasi, kemacetan tidak akan terjadi.

Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino membantah. Pelindo tidak mendapatkan banyak uang dari biaya penumpukan. Pelindo hanya mengutip Rp 4.000 per jam per kontainer atau Rp 96.000 per hari. Jika pemilik barang dikutip Rp 250.000 untuk biaya demurrage (penumpukan), uang itu tidak untuk pelabuhan, tetapi ke maskapai pelayaran.

Pendapatan terbesar Pelindo dari jasa bongkar muat kapal. Jika lapangan penumpukan penuh, kapal tidak bisa bongkar muat. Kondisi ini membuat Pelindo merugi.

Sebenarnya pengusaha pun punya andil dalam kasus ini. Pengusaha sengaja membiarkan barangnya di pelabuhan karena biaya penyimpanan di sana lebih murah daripada sewa gudang. Walaupun diterapkan tarif progresif, tetap saja biayanya lebih murah.

Namun, pengusaha menolak. Mereka beralasan tidak mendapatkan kepastian dari proses bongkar muat di pelabuhan. Mesin produksi tidak boleh berhenti bekerja. Karena itu, stok bahan baku harus selalu ada. Namun, menyimpan bahan baku juga memerlukan biaya besar karena ada biaya inventori. Oleh karena itu, mereka terus mendatangkan bahan baku, tetapi tidak segera mengambil barangnya dari pelabuhan.

Sementara itu, Lino menuduh lamanya proses dwelling time karena sistem di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum bagus. Petugas Bea dan Cukai tidak bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Demikian juga dengan instansi-instansi lain seperti perbankan, karantina, dan perdagangan. Di pelabuhan ada 18 instansi yang terlibat urusan arus keluar masuk barang.

Pemeriksaan barang akan lebih lama ketika barang masuk jalur merah di mana barang harus diperiksa secara fisik satu per satu. Jumlah barang yang masuk jalur merah sangat banyak, yakni mencapai 25 persen. Padahal, di negara-negara lain barang jalur merah hanya 5 persen.

Mengurai kemacetan di pelabuhan memang tidak mudah. Butuh komunikasi yang baik dan kerelaan semua pihak untuk menghapus ego masing-masing. Jalan keluar seperti bekerja 24 jam sehari, mengalihkan kapal untuk sandar ke pelabuhan lain seperti Semarang dan Surabaya ataupun memanfaatkan Dry Port Cikarang, dan menetapkan penalti bagi pemilik barang, butuh kelegaan semua pihak untuk menerimanya.

Semua pihak harus menyadari, masalah ini hanya menimbulkan ekonomi mahal yang merugikan negara dan rakyat. (M Clara Wresti)