Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara yang Lalai...

Kompas.com - 03/09/2013, 23:38 WIB


KOMPAS.com -
Berulang kali hasil studi McKensie Global Institute didengungkan pemerintah. Ekonomi Indonesia saat ini di posisi ke-16 dunia. Saat ini, ada 45 juta masyarakat kelas konsumsi dan 53 persen dari populasi perkotaan di Indonesia menghasilkan 76 persen produk domestik bruto. Selain itu, juga ada 55 juta pekerja terampil di Indonesia. Ada peluang pasar 500 miliar dollar AS bagi produk jasa, pertanian dan perikanan, sumber daya alam, dan pendidikan.

Kisah berlanjut. Pada tahun 2030, ekonomi Indonesia menjadi 7 besar dunia. Masyarakat konsumsi akan menjadi 135 juta orang. Sekitar 71 persen populasi di kota akan menghasilkan 86 persen PDB. Perlu 113 juta tenaga terampil. Peluang pasar sektor jasa, pertanian dan perikanan, sumber daya alam, dan pendidikan mencapai 1,8 triliun dollar AS.

Cerita membanggakan itu seharusnya tidak membuat negara ini terlena. Pemerintah harus berancang-ancang mengantisipasi konsekuensi dari hadirnya angka-angka McKensie tersebut. Semisal ada 45 juta masyarakat kelas konsumsi. Bagaimana bisa memenuhi selera konsumsi mereka. Ada pula populasi kota yang dominan dalam sumbangsih terhadap PDB. Bagaimana gaya hidup dan selera mereka dipenuhi. Begitu pula peluang pasar 500 miliar dollar AS, peluang yang begitu besar.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) soal neraca perdagangan yang masih mengalami defisit memperlihatkan betapa negara ini lalai. Pemerintah, pengusaha, dan pemangku kepentingan di negara ini terlena. Mereka tidak mau memenuhi berbagai peluang yang ada ini. Lebih senang mengimpor produk nonmigas dan produk migas. Bahkan, produk pertanian, seperti daging sapi, bawang, dan cabai yang semestinya bisa dihasilkan di dalam negeri.

Sejak tahun 2012, negara ini mengalami defisit perdagangan 1,63 miliar dollar AS. Sebelumnya tidak pernah ada defisit perdagangan. Penyebab utama adalah impor yang terus meningkat, terutama impor migas. BPS, Senin (2/9/2013), kembali melansir, nilai ekspor Juli 2013 sebesar 15,11 miliar dollar AS. Nilai impor 17,42 miliar dollar AS. Defisit tersebut akibat defisit komoditas migas 1,86 miliar dollar AS dan defisit komoditas nonmigas 0,45 miliar dollar AS.

Sementara itu, secara kumulatif, mulai dari Januari hingga Juli 2013, nilai ekspor migas 18,61 miliar dollar AS dan nonmigas 87,56 miliar dollar AS. Adapun impor migas 26,24 miliar dollar AS, sedangkan impor nonmigas 85,58 miliar dollar AS. Ekspor migas mencatat defisit 7,63 miliar dollar AS, sedangkan ekspor nonmigas surplus 1,98 miliar dollar AS. Neraca perdagangan periode Januari-Juli 2013 mencatat defisit sekitar 5,65 miliar dollar AS.

Terlihat jelas bahwa negara ini tak pernah mau mengoptimalkan potensi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Produk migas harus diimpor. Padahal, kita bisa membangun kilang minyak di dalam negeri. Tak perlu mengimpor produk migas yang membuat ketergantungan produk bahan bakar minyak (BBM) begitu tinggi dan rentan.

Impor produk solar yang tinggi bisa dikompensasi dengan penggunaan biodiesel dari minyak sawit mentah. Saat nilai rupiah melemah karena defisit transaksi berjalan yang sudah berlangsung 21 bulan (tujuh triwulan), baru pemerintah mengeluarkan mandatori pencampuran biodiesel dalam solar mencapai 10 persen. Padahal minyak sawit mentah berlebihan.

Angka-angka McKensie di atas jangan sampai berlalu tanpa negara ini memaknainya lebih dalam. Jangan sampai negara lain yang memaknainya. Jangan lalai. (Pieter P Gero)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com