Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumali "Jiwo Jebret", Mengubah Desa Tandus jadi Wilayah Sentra Buah

Kompas.com - 16/09/2013, 17:55 WIB
Kontributor Surakarta, M Wismabrata

Penulis


KOMPAS.com -
Tahun 2007, awalnya Jumali Wahyono Perwito datang ke desa Pogog untuk menenangkan pikirannya, karena bisnis mebelnya yang kandas diterjang krisis global. Namun kini ia justru berhasil memberdayakan warga desa yang terletak di Wonogiri itu.

Pepayanisasi, pipanisasi, perpustakaanisasi, dan durianisasi membuat pria yang dijuluki Jiwo “Jebret” Pogog ini pun, didapuk sebagai salah satu  nominator Danamon Awards 2013.

“Semua berawal dari kegalauan mas, daripada saya stress dan terbebani hidup saya, saya pergi ke Pogog,” ceritanya saat ditemui Kompas.com  di rumahnya, Desa Trangsan, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Desa Pogog, Wonogiri merupakan daerah yang dikenal Jiwo tahun 1993 silam, saat  ia Kuliah Kerja Nyata  sebagai mahasiswa jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berada di wilayah pegunungan kapur, Desa Pogog tidak memiliki komoditas pertanian yang bisa diunggulkan.

Namun kondisi itu berubah ketika Jumali atai Jiwo datang ke desa tersebut untuk menenangkan diri, setelah bisnis mebelnya hancur terkena hantaman krisis global 2008. Krisis itu memaksa ratusan pengusaha mebel di Sukoharjo, harus gulung tikar, tak terkecuali usaha milik Jiwo.

Hal itu membuat Jiwo terguncang. Tekanan batin dan ekonomi membuat Jiwo memilih untuk menenangkan diri di desa Pogog, yang terletak sekitar 105 kilometer dari tempat tinggalnya.

Tidak hanya 1-2 hari, Jiwo yang saat itu terpuruk ingin mengobati jiwanya dengan menikmati ketenangan ala pedesaan. “Nah, disaat itu, krisis global ternyata tidak hanya dialami di area perkotaan, namun imbas krisis pun terasa di Pogog,” ucapnya.

Ia berkisah, kala itu banyak pemuda Pogog awalnya merantau di kota terpaksa harus pulang kampung karena perusahaan mereka bekerja gulung tikar.  Jiwo yang dikenal warga desa sebagai pengusaha mebel pun menjadi sambatan alias  tempat berkeluh kesah para warga desa.

“Saya justru dimintai solusi, karena mereka sudah kehilangan pekerjaan mereka,” ungkap ayah dua orang anak ini.

Dijadikan tempat curhat warga desa,  Jiwo yang bermaksud menenangkan diri itu, menjadi terpicu untuk membantu mereka. Suami dari Galuh ini pun akhirnya mendapat ide untuk memberikan pelatihan menanam pohon pepaya.

Kenapa pepaya?
Pengalaman bertemu dengan salah satu pioneer pengusaha pepaya di Boyolali, Muslim, membuat Jiwo terinspirasi untuk menularkannya di Desa Pogog. Jiwo pun mengajak salah satu tokoh Desa Pogog, Rimo (41) untuk belajar budidaya pepaya.

Namun upaya Jiwo untuk mengajak warga desa bercocok tanam pepaya tidak mulus begitu saja. Ia justru mendapat cibiran dari warga desa Pogog, yang terbiasa menanam singkong.

“Hal yang tersulit saat menghadapi warga adalah merubah mind set tentang bagaimana menerapkan SOP (standard operation procedure) dalam menanam papaya,” katanya.

Warga terlanjur mengenal buah pepaya tidaklah bernilai dan hanya sekedar pelengkap sayur mayur.

“Saat  itu saya kirim 4.000 bibit dalam dua tahap untuk sekitar 51 KK (kepala Keluarga). Banyak yang gagal, tapi tidak semuanya. Ada salah satu warga yang berhasil dan panen dengan mendapat hasil Rp 6 juta. Hal bisa mengubah cara pandang warga yang lain terhadap pepaya,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com